ARTIKEL PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK DI
BAWAH UMUR
DISUSUN OLEH: RIMASI
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu
bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua
menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak
termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual
(terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat
kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan
seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali
dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat
kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti
pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
Sebagian besar
pelaku pelecahan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban mereka. Sebagian besar pelanggar yang pelecehan seksual
terhadap anak-anak sebelum masa puber adalah pedofil, meskipun beberapa pelaku tidak memenuhi standar
diagnosa klinis untuk pedofilia.Berdasarkan hukum, "pelecehan seksual anak"
merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di mana
orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur atau
eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual. Menurut Seto Mulyadi, psikolog dan
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, kasus pelecehan seksual sangat
menghancurkan hidup anak, baginya kekerasan seksual pada anak sepuluh kali
lebih kejam daripada terhadap orang dewasa. Karena posisi anak-anak masih
rentan, lemah, mudah dirayu dan dibodoh-bodohi. Selain itu juga karena
kekerasan dan pelecehan seksual merupakan gabungan antara kekerasan fisik dan
psikologis.
Maraknya pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual
pada anak-anak adalah sebuah kisah horor bagi para orangtua. Dan yang paling
sulit kita terima, kekerasan seksual pada anak kebanyakan justru dilakukan oleh
orang-orang terdekat, yang otomatis sudah dikenal dan dipercaya, termasuk juga
oleh guru agama. Anak-anak mempunyai hak untuk dilindungi,
tumbuh dan berkembang secara aman. Kekerasan seksual pada anak tak hanya
menimbulkan luka fisik, tapi juga luka psikologis karena trauma. Luka
psikologis inilah yang paling berat. Oleh
karena itu, maka kekerasan seksual pada anak harus mendapat perhatian khusus
dari pihak yang berwenang terutama tindakan preventif jangan sampai anak-anak
menjadi korban kekerasan seksual.
Ada banyak faktor
kenapa terjadi kekerasan seksual pada anak diantaranya, Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam
menonton tv, bermain dll, Anak mengalami cacat
tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, Kemiskinan keluarga (banyak anak), Keluarga pecah (broken home)
akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang, Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak
mampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted Child) atau anak lahir diluar nikah, Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan, Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian
bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak, Kurangnya
pendidikan orang tua terhadap anak.
Berbagai dampak burukpun terus menghantui anak korban
pelecehan seksual diantaranya dampak fisik kecacatan
yang dapat mengganggu fungsi tubuh anggota tubuh. Masalah fisik yang ditimbulkan antara lain lembam, lecet, luka bakar, patah tulang,
kerusakan organ, robekan selaput dara, keracunan, gangguan susunan saraf pusat. Tergantung pada umur
dan ukuran anak, dan tingkat kekuatan yang digunakan, pelecehan seksual anak
dapat menyebabkan luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan
organ internal dapat terjadi dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
kematian. Penyebab kematian termasuk trauma pada alat kelamin atau dubur dan
mutilasi seksual. Serta dampak psikologi diantaranya Pelecehan seksual anak
dapat mengakibatkan kerugian baik jangka pendek dan jangka panjang, termasuk psikopatologi di kemudian hari.
Dampak psikologis, emosional, fisik dan sosialnya meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan
makan, rasa rendah
diri yang buruk, gangguan identitas pribadi dan kegelisahan. Gangguan psikologis yang umum seperti somatisasi, sakit saraf, sakit kronis, perubahan perilaku
seksual, masalah
sekolah/belajar dan masalah perilaku termasuk penyalahgunaan
obat terlarang, perilaku menyakiti diri sendiri, kekejaman terhadap hewan, kriminalitas ketika dewasa dan bunuh diri.
Orang dewasa yang mempunyai sejarah pelecehan seksual
pada masa kanak-kanak, umumnya menjadi pelanggan layanan darurat dan layanan
medis dibanding mereka yang tidak mempunyai sejarah gelap masa lalu. Sebuah studi yang
membandingkan perempuan yang mengalami pelecehan seksual masa kanak-kanak
dibanding yang tidak, menghasilkan fakta bahwa mereka memerlukan biaya
perawatan kesehatan yang lebih tinggi dibanding yang tidak. Anak
yang dilecehkan secara seksual menderita gerjala psikologis lebih besar
dibanding anak-anak normal lainnya, sebuah studi telah menemukan gejala
tersebut 51 sampai 79% pada anak-anak yang mengalami pelecehan seksual. Resiko bahaya akan
lebih besar jika pelaku adalah keluarga atau kerabat dekat, juga jika pelecehan
sampai ke hubungan seksual atau paksaan pemerkosaan, atau jika melibatkan
kekerasan fisik.Tingkat bahaya juga dipengaruhi berbagai faktor seperti
masuknya alat kelamin, banyaknya dan lama pelecehan, dan penggunaan kekerasan. Pengaruh
yang merugikan akan kecil dampaknya pada anak-anak yang mengalami pelecehan
seksual namun memiliki lingkungan keluarga yang mendukung atau mendampingi
paska pelecehan.
Adapun upaya yang dapat diberikan sebagai solusi atas
permasalahn ini adalah memberikan perlindungan terhadap anak korban kekerasan
baru mulai mendapat perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak
ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan
instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlidungan tersebut. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap anak
yang menjadi korban tindak kekerasan/pelecehan seksual dapat diberikan melalui
:
1.
Pelecehan seksual
dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP)
2.
Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU
Perlindungan Anak”), sebagai lex specialis (hukum yang lebih
khusus) dari KUHP.
3.
UU No. 35 Tahun 2014 tentang tentang perubahan
atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
4.
Pasal 82 UU Perlindungan Anak :
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar