BAB
I
PENDAHULUAN
2.1.
Latar Belakang
Keterampilan menulis memang tidak bisa lahir dengan serta
merta.Diperlukan kolaborasi antara talenta manusia dengan wawasan
kebahasaan.Talenta melahirkan semangat menulis, dan wawasan kebahasaan menjadi
bekal untuk terampil menulis.Talenta saja tidak cukup, sebab sebagai sebuah
skill, seperti halnya naik sepeda, kegiatan menulis perlu dilatih atau diasah.
Semakin sering berlatih, maka kemampuan menulis akan semakin baik. Untuk
sekedar naik sepeda, hanya diperlukan waktu sekitar satu bulan, dan untuk menjadi
seorang atlet balap sepeda, diperlukan latihan bertahun-tahun.Sama halnya
dengan belajar menulis.
Untuk sekedar bisa menulis, dibutuhkan waktu beberapa bulan
saja, tetapi untuk menjadi penulis yang handal, yang tulisan-tulisannya
ditunggu oleh para pembaca, tentu dibutuhkan waktu latihan yang lebih lama
lagi. Tulisan bersifat efektif bila didasarkan atas prinsip-prinsip yang sama
dengan penyelidikan yang dilakukan sebelumya, yaitu kejelasan, ketetapan (bebas
dari kesalahan), dan kenalaran. Seperti halnya dengan sebuah percobaan, tulisan
harus didasarkan atas organisasi yang mantap dan rapih: “Organisasi yang baik
merupakan kunci tulisan yang baik” (Peterson 1980).
Penulisan dan pikiran merupakan dua hal yang saling
berkaitan: sebuah tulisan yang disusun dengan buruk sering mencerminkan
percobaan yang kurang terorganisasi dengan latar belakang pikiran yang kacau.
Sebaliknya, penyusunan tulisan dapat membantu penulis dalam pengertian masalah
yang diselidikinya.Organisasi yang baik juga menimbulkan kesederhanaan.
Percobaan ilmiah kerap sangat rumit, tetapi laporannya perlu ditulis dengan
sederhana supaya dapat dibaca dan ditafsirkan dengan mudah oleh orang lain
(spesialis maupun bukan spesialis).
Menulis laporan hasil penelitian, tidak berbeda dengan
menyusun tulisan ilmiah populer lainnya.Secara teknis, bedanya pada kerangka
tulisan. Tulisan ilmiah hasil penelitian harus ditulis berdasarkan kerangka
yang sudah baku. Kerangka laporan hasil penelitian terdiri atas, Pendahuluan,
Kajian Teori, Metodologi Penelitian, Hasil Penelitian dan Pembahasan, serta
Simpulan dan Saran, yang ditambah dengan lampiran-lampiran bukti hasil
penelitian. Oleh karena itu, dalam karya ilmiah ini kami mengangkat masalah
penulisan karya ilmiah. Penulis mencoba mereviu sebuah artikel publikasi
Masalah
tentang karya ilmiah semakin meningkat baik dijenjang smp, sma, maupun
dijenjang perkuliahan.Banyak siswa-siswa yang membuat laporan tentang suatu
penelitian sederhana.Dijenjang perkuliahan, karya ilmiah memuat proposal
penelitian, kemudian penelitian, dan setelah itu, karya ilmiah. Dalam
menulis karya tulis ilmiah, kita perlu banyak membaca sumber-sumber yang kita
butuhkan.Sebuah karya tulis yang lengkap memuat halaman judul, halaman
persetujuan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar, daftar
pustaka, dll. Karya ilmiah merupakan sesuatu yang berfungsi menarik perhatian
pembaca dan memberi arahan terhadap masalah yang akan diuraiakan. Dengan
akal kita dapat terpikir untuk menganalisis permasalahan, menemukan akar
permasalahan, menemukan alternatif pemecahannya, kemudian memberikan
kesimpulannya. Proses berpikir seperti di atas akan menjadi langkah kerja
ilmiah apabila dituangkan dalam bentuk tulisan.
Pada dasarnya, ada beberapa jenis model
penulisan artikel.Model-model tersebut bisa dikelompokkan kepada tingkat
kerumitannya.Model yang paling mudah ialah model penulisan populer.Tulisan
populer biasanya tulisan ringan yang tidak rumit dan bersifat hiburan.Selain
itu, bahasa yang digunakan juga cenderung bebas.Model yang paling sulit
ialah penulisan ilmiah.Model ini mensyaratkan objektivitas dan kedalaman
pembahasan, dukungan informasi yang relevan, dan biasa diharapkan menjelaskan
“mengapa” atau “bagaimana” suatu perkara itu terjadi, tanpa pandang bulu dan
eksak (Soeseno 1982). Dari aspek bahasa, tentu saja tulisan ilmiah mensyaratkan
bahasa yang baku. Meski demikian, ada satu model penulisan yang berada di
tengah-tengahnya.Model tersebut dikenal dengan penulisan ilmiah populer dan
merupakan perpaduan penulisan populer dan ilmiah. Istilah ini mengacu pada
tulisan yang bersifat ilmiah, namun disajikan dengan cara penuturan yang mudah
dimengerti (Eneste, 2005). Penulisan populer memiliki ciri, bentuk, bahasa,
serta kiat dan praktik penulisan yang khas, oleh sebab itu, dalam makalah ini akan
diuraikan beberapa tujuan, bentuk, serta hal-hal yang terkait dengan penulisan
popular.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1
Pengertian Artikel
Artikel merupakan salah satu bentuk
karya ilmiah lengkap yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dan hasil
pemikiran atau kajian pustaka.Dalam hal ini, artikel dapat dikatakan sebagai
karya tulis yang berisi opini seseorang yang mengupas tuntas suatu masalah
tertentu yang bersifat aktual dan kadang-kadang kontraversial dengan tujuan
memberikan informasi, memengaruhi, meyakinkan, persuasive argumentatif, dan
menghibur khalayak pembaca.Oleh sebab itu, jenis artikel ini bisa berupa
artikel ilmiah murni dan artikel ilmiah populer.
Ada beberapa pengertian artikel menurut
ahli diantaranya :
- Pengertian Artikel Menurut Ensiklopedia Pers Indonesia (1991:14): Artikel adalah karangan prosa dalam media massa yang membahas pokok masalah secara lugas.
- Pengertian Artikel Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:49): Artikel adalah karya tulis lengkap dalam majalah, surat kabar, dan sebagainya.
- Pengertian Artikel Menurut Penguin English Student Dictionary (1991:31): Artikel adalah sebuah tulisan yang ditulis untuk dipublikasikan dalam surat kabar atau majalah.
- Pengertian Artikel Menurut Andi Baso Mappatoto (1994): Artikel adalah karya tulis lengkap, tulisan nonfiksi, dan karangan tertulis yang panjangnya tak tentu.
Artikel adalah karya tulis lengkap, misalnya laporan berita
atau esai di majalah, artikel merupakan salah satu karya tuls ilmiah yang
paling sederhana. Artikel biasanya diperuntukan bagi masyarakat umum yang
dimuat pada media cetak, majalah dinding, dan ada juga dari dosen dengan maksud
menyampaikan ide, gagasan ( KKBI,2001:66).
Artikel secara umum merupaka, karya tulis ilmiah yang
berisi opini atau gagasan seseorang yang berasal dari hasil penelitian atau
hasil pemikiran atau kajian pustaka dan dimuat di jurnal ilmiah atau media
massa untuk memberikan informasi tentang sesuatu kepada sekelompok
orang atau khalayak ramai.
A. Ciri-ciri Penulisan Artikel
Ilmiah Yang Baik
1. Reproduktif
Maksud yang ditulis oleh penulis diterima dengan makna yang sama oleh pembaca. Maka dari itu penulis harus menggunakan bahasa yang bermakna denotatif agar terdapatsatu pemahaman dengan pembaca.
Maksud yang ditulis oleh penulis diterima dengan makna yang sama oleh pembaca. Maka dari itu penulis harus menggunakan bahasa yang bermakna denotatif agar terdapatsatu pemahaman dengan pembaca.
2. Menggunakan bahasa baku dalam ejaan, kata, kalimat dan paragraf.
3. Menggunakan Istilah Keilmuanartinya penulis harus menggunakan bahasa
keilmuwan dalam bidang tertentu sebagai bukti penguasaan penulis terhadap lmu
tertentu yang dikuasai.
4. Rasional
Artinya penulis harus
menonjolkan keruntutan pikiran yang logis, alur pemikiran yang lancar dan
kecermatan penulisan.
5.
Bersifat straightforward atau
langsung kesasaran
6.
Menggunakan kalimat yang efektif.
2.2 Artikel Konseptual
Artikel konseptual juga merupakan hasil
pemikiran penulis atas suatu permasalahan, yang dituangkan dalam bentuk
tulisan. Dalam upaya untuk menghasilkan artikel jenis ini penulis terlebih
dahulu mengkaji sumber-sumber yang relevan dengan permasalahannya, baik yang
sejalan maupun yang bertentangan dengan apa yang dipikirkan oleh penulis.
Sumber-sumber yang dianjurkan untuk dirujuk dalam rangka menghasilkan artikel
konseptual adalah juga artikel-artikel konseptual yang relevan, hasil-hasil
penelitian terdahulu, disamping teori-teori yang dapat digali dari buku-buku
teks.
Bagian paling vital dari artikel
konseptual adalah pendapat atau pendirian penulis tentang hal yang dibahas,
yang dikembangkan dari analisis terhadap pikiran-pikiran mengenai masalah yang
sama yang telah dipublikasikan sebelumnya. Jadi, artikel konseptual bukanlah
sekedar kolase cuplikan-cuplikan dari sejumlah artikel, apalagi pemindahan
tulisan dari sejumlah sumber, tetapi hasil pemikiran analitis dan kritis
penulisnya.
a) Isi dan Sistematika
Artikel konseptual biasanya terdiri
dari beberapa unsur pokok, yaitu judul, nama penulis, abstrak dan kata kunci,
pendahuluan, bagian inti atau pembahasan, penutup dan daftar rujukan. Uraian
singkat tentang unsur-unsur tersebut disampaikan di bawah ini.
1.
Judul
Judul artikel konseptual hendaknya mencerminkan
dengan tepat masalah yang dibahas. Pilihan kata-kata harus tepat, mengandung
unsur-unsur utama masalah, jelas dan setelah disusun dalam bentuk judul harus
memiliki daya tarik yang cukup kuat bagi pembaca. Judul dapat ditulis dalam bentuk kalimat berita
atau kalimat tanya. Salah satu ciri penting judul artikel konseptual adalah
"provokatif", dalam arti merangsang pembaca untuk membaca artikel
yang bersangkutan. Hal ini penting karena artikel konseptual pada dasarnya
bertujuan untuk membuka wacana diskusi, argumentasi, analisis dan sintesis
pendapat-pendapat para ahli atau pemerhati bidang tertentu. Perhatikan contoh judul artikel konseptual
berikut ini.
2.
Nama Penulis
Nama
penulis artikel ditulis tanpa disertai gelar akademik atau gelar profesional
yang lain. Jika dikehendaki gelar kebangsawanan atau keagamaan boleh
disertakan.Nama lembaga tempat penulis bekerja ditulis sebagai catatan kaki di
halaman pertama. Jika penulis lebih dari dua orang, hanya nama penulis utama
saja yang dicantumkan disertai tambahan dkk. Nama penulis lain ditulis dalam
catatan kaki atau di tempat lain jika tempat catatan kaki tidak mencukupi.
3.
Abstrak dan Kata Kunci
Abstrak
artikel konseptual adalah ringkasan dari isi artikel yang dituangkan secara
padat; bukan komentar atau pengantar penulis.Panjang abstrak biasanya 50-75
kata yang disusun dalam satu paragraf, diketik dengan spasi tunggal.Format
lebih sempit dari teks utama (margin kanan dan kiri menjorok masuk beberapa
ketukan.
Dengan
membaca abstrak diharapkan (calon) pembaca segera memperoleh gambaran umum dari
masalah yang dibahas di dalam artikel.Ciri-ciri umum artikel konseptual seperti
kritis dan provokatif hendaknya juga sudah terlihat di dalam abstrak ini,
sehingga (calon) pembaca tertarik untuk meneruskan pembacaannya.
Abstrak
hendaknya juga disertai dengan 3-5 kata kunci, yaitu istilah-istilah yang
mewakili ide-ide atau konsep-konsep dasar yang terkait dengan ranah
permasalahan yang dibahas dalam artikel.Jika dapat diperoleh, kata-kata kunci
hendaknya diambil dari bidang ilmu terkait.Perlu dicatat bahwa kata-kata kunci
tidak hanya dapat dipetik dari judul artikel, tetapi juga dari tubuh artikel
walaupun ide-ide atau konsep-konsep yang diwakili tidak secara eksplisit
dinyatakan atau dipaparkan di dalam judul atau tubuh artikel.
4.
Pendahuluan
Bagian
ini menguraikan hal-hal yang dapat menarik perhatian pembaca dan memberikan
acuan (konteks) bagi permasalahan yang akan dibahas, misalnya dengan
menonjolkan hal-hal yang kontroversial atau belum tuntas dalam pembahasan
permasalahan terkait dalam artikel-artikel atau naskah-naskah lain yang telah
dipublikasikan terdahulu. Bagian pendahuluan ini hendaknya diakhiri dengan
rumusan singkat (1-2 kalimat) tentang hal-hal pokok yang akan dibahas dan
tujuan pembahasan.
5.
Bagian Inti
Isi
bagian ini sangat bervariasi, lazimnya berisi kupasan, analisis, argumentasi,
komparasi, keputusan dan pendirian atau sikap penulis mengenai masalah yang
dibicarakan.Banyaknya sub-bagian juga tidak ditentukan, tergantung kepada
kecukupan kebutuhan penulis untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Di antara
sifat-sifat artikel terpenting yang seharusnya ditampilkan di dalam bagian ini
adalah kupasan yang argumentatif, analitik dan kritis dengan sistimatika yang
runtut dan logis, sejauh mungkin juga berciri komparatif dan menjauhi sifat tertutup dan instruktif.
Walaupun demikian, perlu dijaga agar tampilan bagian ini tidak terlalu panjang
dan menjadi bersifat enumeratif seperti diktat. Penggunaan subbagian dan
sub-subbagian yang terlalu banyak juga akan menyebabkan artikel tampil seperti
diktat.
6.
Penutup atau Simpulan
Penutup
biasanya diisi dengan kesimpulan atau penegasan pendirian penulis atas masalah
yang dibahas pada bagian sebelumnya. Banyak penulis yang berusaha menampilkan
segala apa yang telah di bahas di bagian terdahulu, secara ringkas. Sebagian
penulis menyertakan saran-saran atau pendirian alternatif.Jika memang dianggap
tepat bagian terakhir ini dapat disajikan dalam subbagian tersendiri.Contoh
untuk bagian ini dapat dilihat pada berbagai artikel jurnal. Walaupun mungkin
terdapat beberapa perbedaan gaya penyampaian, misi bagian akhir ini pada
dasarnya sama: mengakhiri diskusi dengan suatu pendirian atau menyodorkan beberapa
alternatif penyelesaian.
7.
Daftar Rujukan
Bahan
rujukan yang dimasukkan dalam daftar rujukan hanya yang benar-benar dirujuk di
dalam tubuh artikel.Sebaliknya, semua rujukan yang telah disebutkan dalam tubuh
artikel harus tercatat di dalam daftar rujukan.Penulisan daftar rujukan
dilakukan pada halaman terakhir artikel, tidak pada halaman baru. Tata aturan
penulisan daftar rujukan bervariasi, tergantung gaya selingkung yang dianut.
Walaupun demikian harus senantiasa diperhatikan bahwa tata aturan ini secara
konsisten diikuti dalam setiap nomor penerbitan.
b)
Pengorganisasian
Isi
Penggorganisasian
isi mengacu kepada cara penataan urutan isi yang akan dipaparkan dalam artikel.
Isi yang dimaksud dapat berupa fakta, konsep, prosedur atau prinsip.Tipe isi yang
berbeda memerlukan penataan urutan yang berbeda, tergantung pada struktur
isinya.Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu dilewati untuk
menghasilkan pengorganisasian isi artikel yang baik.
1. Mengidentifikasi
tipe isi yang akan dideskripsikan dalam artikel
Mengidentifikasi
tipe isi yang akan dideskripsikan dalam artikel merupakan, langkah paling awal.
Isi yang dimaksud perlu dikaji secara cermat apakah peruba konsep, prosedur, atau prinsip.
Tipe isi dikatakan konsep apabila menekankan pada uaraian tentang “apanya”, tipe isi prosedur menekankan
pada“ bagaimana”, dan tipe isi
dikatakan prinsip apabila menekankan pada “mengapa”
2. Menetapkan
struktur isi
Menetapkan struktur
isi merupakan langkah lanjutan setelah penetapan tipe isi.Struktur isi mengacu
kepada kaitan antarisi.Penataan isi artikel perlu memperhatian struktur isinya.
Dari struktur isi akan dapat diketahui isi mana yang selayaknya diuraikan lebih
dulu dan isi mana yang diuraikan kemudian, serta seberapa dalam setiap isi
perlu diuraikan.
Tipe isi yang berbeda menuntut struktur isi
yang berbeda. Apabila isi yang akan diuraikan dalam artikel berupa
konsep-konsep, maka isi ini sebaiknya ditata ke dalam struktur konseptual.
Apabila isi yang akan diuraikan berupa prosedur, maka penataannya menuntut penggunaan
struktur prosedural. Apabila isi yang akan diuraikan berupa prinsip, tatanan
prinsip-prinsip itu ditata ke dalam struktur teoretik.
3. Menata
isi dalam strukturnya
Langkah ketiga
adalah menata isinya ke dalam strukturnya. Apabila hasil langkah kedua ternyata
mengarah ke pembuatan struktur konseptual, maka langkah berikutnya adalah
memilih semua konsep penting yang akan diuraikan dan manatanya menjadi suatu
struktur yang bermakna, yang secara jelas menunjukkan keterkaitan antarkonsep
itu.
4. Menata
ururtan isi
Langkah keempat adalah menata urutan isi.
Penataan ini dilakukan berpijak pada struktur yang telah dibuat pada langkah
ketiga. Pada langkah ini semua konsep atau prosedur, atau prinsip yang telah
dimasukkan dalam strukturnya ditata urutan pemaparannya. Beberapa ketentuan
penataan urutan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
Pertama, paparkan
struktur isi, sedapat mungkin pada bagian paling awal dari artikel. Struktur
isi yang memuat bagian-bagian penting artikel dan kaitan-kaitan antarbagian itu
perlu dipaparkan pada bagian awal untuk dijadikan kerangka acuan paparan isi
yang lebih rinci.
Kedua, Paparkan
bagian isi terpenting di bagian pertama. Pada tahap pemaparan isi yang diambil
dari suatu struktur, upayakan memaparkan isi yang paling penting pertama kali.
Penting tidaknya bagian isi ditentukan oleh sumbangannya untuk memahami
keseluruhan isi artikel. Misalnya, jika konsepkonsep yang akan dipaparkan
memiliki hubungan prasyarat belajar, maka konsep-konsep yang mempersyarati
sebaiknya dipaparkan terlebih dulu.
Ketiga, sajikan isi
secara bertahap dari umum ke rinci. Isi yang lebih umum sebaiknya disajikan
mendahului isi yang lebih rinci. Selain itu, setiap paparan suatu bagian isi
sebaiknya selalu ditunjukkan kaitannya dengan bagian isi yang lain.
5. Mendeskripsikan
isi mengikuti urutan yang telah ditetapkan.
Setelah melewati
keempat langkah tersebut, penulis artikel tinggal membuat paparan isi sesuai
dengan urutan yang telah ditetapkan sebelumnya.Dalam memaparkan isi upayakan
menggunakan tahapan tingkat umum ke rinci secara bertahap. Dengan cara ini,
tingkat sajian yang lebih umum akan menjadi pijakan bagian sajian isi yang
lebih rinci.
2.3
Penyusunan Artikel Konseptual dalam Jurnal
Setiap jurnal memiliki sistematika penulisan sesuai gaya
selingkung yang ditetapkan. Secara garis besar, artikel dalam sebuah jurnal ini
perlu ditulis dengan sistematika yang berbeda agar para pembaca jurnal dapat
segera mengenali jenis artikel yang dibacanya secara cepat dari
sistematikanya.Kedua jenis artikel ilmiah tersebut, yaitu artikel hasil
penelitian dan artikel konseptual dibahas dalam tulisan ini.
Setiap penerbit jurnal memiliki sistematika penulisan yang
sesuai gaya selingkung jurnal yang ditetapkan. Secara garis besar, artikel
dalam sebuah jurnal ini perlu ditulis dengan sistematika yang berbeda agar para
pembaca jurnal dapat segera mengenali jenis artikel yang dibacanya secara cepat
dari sistematikanya.
Sebuah artikel yang dapat diterbitkan pada suatu jurnal
ilmiah harus sesuai dengan gaya selingkung jurnal ilmiah tersebut. Oleh karena
itu, sebelum menulis artikel untuk tujuan dipublikasikan pada jurnal, terlebih
dahulu harus memperhatikan gaya selingkung jurnal ilmiah yang akan memuatnya.
Untuk mengetahuinya dapat dibaca pada bagian halaman terakhir suatu jurnal.Itulah
sebabnya, seseorang yang ingin artikelnya dimuat biasanya diwajibkan menjadi
pelanggan jurnal.
Persyaratan sebuah naskah untuk
dimuat pada Jurnal Ilmu Kependidikan.Artikel diangkat dari hasil
penelitian atau non penelitian (ada temuan) di bidang kependidikan.
1.
Artikel ditulis dengan Bahasa
Indonesia/Bahasa Inggris, naskah belum pernah diterbitkan media lain, diketik 2
spasi dengan huruf Times New Roman,ukuran font 11 pada kertas kuarto, jumlah
10-20 halaman dilengkapi abstrak sebanyak 75-100 kata dalam Bahasa Inggris dan
Bahasa Indonesia disertai kata-kata kunci. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar
akademik dan ditempatkan di bawah judul pada halaman pertama naskah yang
disertai dengan.nama instansi, alamat instansi, nomor telepon, serta alamat e-mail
penulis. Naskah dikirim dalam bentuk print out sebanyak 2 eksamplar.
2.
Artikel pemikiran (non-penelitian) memuat judul (mencerminkan masalah yang
diteliti, mengikuti kaidah kebahasaan dan tidak terlalu panjang/pendek); nama
penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (berfungsi sebagai ringkasan, bukan
pengantar atau komentar penulis, maksimum 100 kata); kata kunci dan isi. Isi
artikel mempunyai struktur dan sistematika serta persentasenya dari jumlah
halaman sebagai berikut (Sistematika/struktur ini hanya sebagai pedoman umum.
Penulis dapat mengembangkannya sendiri asalkan sepadan):
a)
pendahuluan (tanpa judul) meliputi
gambaran ringkas masalah dengan menekankan nuansa ketaktuntasan, kontroversi,
pendapat altematif serta menekankan tujuan pembahasan. (10%)
b)
pendahuluan
meliputi perbandingan berbagai pendapat secara kritis,
objektif, logis dan sistematik, mengandung pernyataan sikap atau pendirian
penulis tentang masalah yang dibahas. (70%)
c)
penutupyang meliputi kesimpulan dan saran (sejalan dengan pendirian penulis).
(20%)
d)
Daftar rujukan memuat semua
rujukan yang telah disebut di dalam artikel.
3.
Sumber rujukan sedapat mungkin
pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber
primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau
artikel dalam jurnal dan majalah ilmiah.
4.
Perujukan dan pengutipan,
mengunakan teknik perujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber pada
kutipan langsung disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan.
Contoh: Hernandez, l997:150). \
5.
Daftar rujukan disajikan mengikuti
tata cara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Buku, Koran atau majalah, jurnal
6.
Naskah diketik dengan
memperhatikan aturan penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
7.
Pengiriman naskah disertai dengan
alamat, nomor telepon, fax atau e-mail (bila ada). Pemuatan atau penolakan
naskah akan diberitahukan secara tertulis. Naskah yang tidak dimuat akan
dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.
8.
Penulisan yang artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti
pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar.
9.
Sebagai prasyarat bagi pemrosesan
artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama satu
tahun. Penulis yang artikelnya dimuat wajib memberikan kontribusi biaya cetak
sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
10.
Artikel 2 (dua) eksemplar dan
disketnya dikirim paling lambat l (satu) bulan sebelum bulan penerbitan kepada:
BAB
III
HASIL
RISET
3.1 Penulisan Artikel Konseptual dalam
Jurnal
MEMPOSISIKAN KEMBALI BAHASA INDONESIA, BAHASA
DAERAH,
DAN BAHASA ASING DI INDONESIA
Tri Wiratno
Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Abstrak
The principal problem posed in this paper is the need to review the position of the Indonesian language, the vernacular and foreign languages in Indonesia. This needs to be done to determine the model of education and teaching language in Indoneisa. The issue is based on two assumptions. On the one hand, language is often regarded as an area that is less important when compared with other fields; on the other hand, education and language teaching in Indonesia have not been based on the potential of bilingualism and principles of literacy. By comparing models of language education in a number of countries with language education in Indonesia, in this paper offered a model of language education that not only teach the language as a subject, but as a medium of instruction by considering the three groups above languages democratically. To that end, the integration of the content of language teaching materials into English are advised to apply.
Keywords: models, languages, bilingualism, literacy.
Pendahuluan
Paper ini
berkenaan dengan bagaimana bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing
seharusnya diperlakukan atau diposisikan dari sudut pandang demokrasi
bahasa.Untuk itu, perlu dilihat kembali kedudukan ketiga kelompok bahasa
tersebut. Pada saat yang sama, untuk mendapatkan model pendidikan dan
pengajaran bahasa yang cocok, juga perlu disimak kembali bagaimana ketiga
kelompok bahasa itu diajarkan. Pokok masalah ini didasarkan pada dua asumsi
fundamental. Pertama, bahasa sering dianggap sebagai bidang yang periperal
apabila dibandingkan dengan bidang lain. Kedua, pendidikan dan pengajaran
bahasa di Indonesia yang multikultural dan multilingual ini belum didasarkan
pada potensi kedwibahasaan dan prinsip-prinsip literasi. Setelah mereview
beberapa model pendidikan kedwibahasaan di sejumlah negara dan membandingkan
model-model itu dengan pendidikan bahasa di Indonesia, pada paper ini
ditawarkan sebuah model pendidikan bahasa yang mempertimbangkan ketiga kelompok
bahasa tersebut sebagai media pengajaran, tidak sebatas sebagai mata pelajaran.
Untuk melengkapi model tersebut, disarankan untuk menerapkan pengajaran bahasa
yang memadukan kandungan materi ke dalamnya.
Bagian Inti
1. Pendidikan
Bahasa dan Literasi
Pada kelompok
pertama, sebagai bahasa nasional di Indonesia dan sebagai alat komunikasi
secara luas sekaligus, Bahasa Indonesia digunakan sebagai media pengajaran di
semua tingkat pendidikan, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Selain itu, Bahasa Indonesia juga diajarkan sebagai mata pelajaran selama 6
tahun di sekolah dasar, 3 tahun di sekolah lanjutan pertama, 3 tahun di sekolah
lanjutan atas, dan setidaknya satu tahun di perguruan tinggi (kecuali di
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, bahasa ini dalam berbagai bentuk diajarkan
di sepanjang program). Secara historis, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai
media pengajaran tidak dapat dilepaskan dari pemilihan bahasa ini sebagai
bahasa nasional ketika dikumandangkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 Untuk
pembentukan bangsa pemeilihab itu, menguntungkan meskipun mengesampingkan
peranan bahasa-bahasa daerah besar
seperti bahasa jawa dan sunda (Alysyahbana, 1984 :48) dalam mewariskan sastra dan kebudayaan
Pada kelompok
kedua, bahasa-bahasa daerah yang berjumlah lebih dari 500 buah digunakan
sebagai alat komunikasi di masyarakat pendukung bahasa-bahasa itu, tetapi tidak
semua bahasa itu digunakan sebagai media pengajaran, kecuali hanya di
daerah-daerah dengan siswa yang belum siap untuk menggunakan Bahasa Indonesia
sampai tahun ketiga di sekolah dasar. Bahasa-bahasa daerah yang mempunyai
peranan penting dalam tradisi dan seni diajarkan sebagai mata pelajaran dari
sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama/atas.Demikian juga, di Jurusan
Bahasa Daerah, bahasa daerah diajarkan di universitas di sepanjang program.
Pada kelompok
terakhir, bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris diajarkan sebagai mata
pelajaran di sekolah lanjutan pertama selama 3 tahun, di sekolah lanjutan atas
3 tahun, dan di universitas 1 tahun. Akan tetapi, di jurusan bahasa asing,
misalnya Bahasa Inggris, bidang ini, dalam berbagai bentuk diajarkan di
sepanjang program.Meskipun Bahasa Inggris tidak digunakan sebagai alat
komunikasi di masyarakat, bahasa tersebut diajarkan sebagai mata pelajaran
wajib di semua tingkat pendidikan di atas, kecuali di sekolah dasar.
Kenyataan
lain yang perlu dikemukakan terlebih dahulu adalah bahwa pelaksanaan pendidikan
bahasa menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional, tetapi di pihak
lain Pusat Bahasa lah yang memiliki kepedulian besar terhadap perkembangan
bahasa Indonesia dan daerah (tidak termasuk bahasa asing). Namun demikian, di
luar harapan bahwa kedua lembaga ini tidak selalu membuat kebijakan kebahasaan
yang saling menunjang. Sebagai contoh, Departemen Pendidikan Nasional belum
mengganggap bahasa sebagai bidang yang penting dibandingkan dengan
bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi Pusat Bahasa menganggap
bahwa bahasa merupakan bidang yang sangat penting sehingga seakan-akan lembaga
ini mengarahkannya dengan melakukan interferensi melalui standarisasi. Dengan
interferensi ini, sering dikatakan bahwa bahasa Indonesia tidak berkembang
secara wajar dalam hal dinamika fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantiknya. Terbukti bahwa Pusat Bahasa menolak pengaruh dari bahasa daerah
atau bahasa asing, meskipun lembaga ini sulit membendung pengaruh tersebut.
Sebagai
akibat dari kondisi di atas, pelaksanaan pendidikan ketiga kelompok bahasa
tersebut saling berkompetisi dalam hal pembentukan identitas nasional di satu
sisi dan kebijakan pemerintah di sisi lain. Pendidikan Bahasa Indonesia
diarahkan untuk kepentingan nasional, dan pada saat yang sama, bahasa-bahasa
daerah diajarkan sebagai mata pelajaran terutama untuk melestarikan budaya
lokal (meskipun hanya bersifat superfisial), sedangkan bahasa asing ditempatkan
sebagai sarana instrumental.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa Pusat Bahasa memiliki peranan yang besar, tetapi memberikan
tekanan yang kuat pada bahasa Indonesia dan sedikit memberikan perhatian pada
bahasa daerah atau bahasa asing menimbulkan dampak yang tidak kecil pada
pengajaran bahasa. Di satu pihak, meskipun Departemen Pendidikan Nasional
bertanggungjawab pada pelaksanaan pendidikan bahasa di negara ini, karena
departemen ini tidak menganggap bahasa sebagai bidang yang penting di kurikulum
sekolah, kebijakan yang dibuat pun belum dapat mengatasi dampak tersebut.
Dampak yang
paling menonjol adalah bahwa kurikulum nasional harus berisi Bahasa Indonesia
standar, dan dalam pelaksanaannya, target ambisius dicanangkan agar penutur
Bahasa Indonesia dapat menggunakannya secara baik dan benar di berbagai ranah.
Dampak berikutnya adalah bahasa-bahasa daerah secara praktis
terabaikan.Bahasa-bahasa ini, terutama beberapa bahasa daerah yang mempunyai
penutur dalam jumlah besar, hanya digunakan secara lokal. Pada masyarakat yang
multicultural dan multilingual, tidaklah pada tempatnya untuk tidak
memposisikan dan mempromosikan bahasa-bahasa daerah dengan cara yang sama
seperti memperlakukan Bahasa Indonesia. Memang betul bahwa sudah sering
disepakati bahwa bahasa-bahasa daerah harus dilestarikan untuk mendukung kebudayaan
lokal, tetapi tindakan yang nyata untuk menempatkan bahasa daerah dalam
kerangka pendidikan bahasa yang terencana secara keseluruhan tidak pernah
dilakukan.Demikian pula, dampak negatif juga dialami oleh bahasa-bahasa asing
di negara ini.Bahasa-bahasa ini ditempatkan di kurikulum hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan intrumental, terutama untuk memenuhi keperluan pasar
kerja.Keindahan sastra dan kesalingmengertian budaya asing melalui pengajaran
bahasa asing jarang tersentuh, kecuali di jurusan bahasa asing di perguruan
tinggi.
Dalam hal
demokrasi kebahasaan, cara penempatan ketiga kelompok bahasa tersebut
menimbulkan diskriminasi linguistik. Dengan meminjam istilah Philipsons (1992),
karena cara penempatan tersebut memungkinkan terciptanya kondisi yang
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang superior dan kedua kelompok
bahasa yang lain dikesampingkan, “imperialisme linguistik” sedang terjadi di
negeri ini. Lagi pula, karena kebijakan bahasa lebih banyak diarahkan untuk
kepentingan identitas nasional, keadaan ini juga mendorong terciptanya kondisi
yang memungkinkan para penguasa negara di tingkat elite melakukan indoktrinasi
ideologi dengan menyalahgunakan pemakaian bahasa, seperti membelokkan makna
dengan memanfaatkan eupemisme.
Dengan melihat
kenyataan di atas, perlu diargumentasikan bahwa dalam hal pendidikan
kebahasaan, ketiga kelompok bahasa tersebut harus diajarkan secara seimbang.
Dalam konteks penggunaan bahasa di berbagai ranah, termasuk rahan pemerintahan,
tidak saja
“demokrasi
linguistik” yang perlu diketengahkan (Santosa, 1998a) di berbagai aspek
kehidupan, tetapi juga kesadaran berbahasa secara penuh, termasuk dalam
pendidikan dan pengajaran bahasa (van Lier, 1995: 98) untuk menempatkan ketiga
kelompok bahasa tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing
Kompetisi
ketiga kelompok bahasa tersebut tidak perlu terjadi seandainya ketiganya
ditempatkan sesuai dengan peranan dan fungsinya masing-masing, dan dibiarkan
terbuka dari pengaruh luar dengan hanya sedikit intervensi untuk alasan teknis.
Selain itu, sebagaimana akan disampaikan berikut ini, ketiga kelompok bahasa
itu hendaknya diajarkan secara bersama-sama dalam kerangka literasi.
Namun
demikian, kenyataan bahwa dibandingkan dengan pendidikan bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, pendididkan bahasa dianggap periperal.Keadaan
semakin buruk, karena pengajaran bahasa di Indonesia tidak dirancang dengan
baik. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa: (1) kurikulum bahasa tidak
dibuat secara baik dengan melihat sifat alami bahasa-bahasa yang ada di negara
ini dan dengan melihat pula tuntutan dunia yang selalu berubah; (2) bahan ajar
bahasa (termasuk buku) tidak dipilih dan diproduksi dengan baik; dan(3)
sebagian besar guru bahasa tidak memiliki kualifikasi yang memadai, sementara
itu pemerintah tampaknya tidak mempersiapkan hal itu.
Selama ini,
dapat diamati bahwa kurikulum nasional Bahasa Indonesia merupakan paket yang
diberikan kepada pembelajar secara seragam tanpa mempertimbangkan keragaman
lokal yang melatarbelakanginya.Selain itu, dalam hal urutan dan cakupan materi,
biasanya alokasi waktu yang diberikan tidak cukup untuk merampungkan semua
materi.Buku-buku bahasa yang tersedia pun biasanya dibuat berdasarkan perintah,
bukan hasil dari pemilihan materi secara teliti, dan bukan pula sebagai
refleksi dari prinsip-prinsip pembelajaran bahasa. Di pihak lain, guru bahasa
biasanya hanya menyampaikan materi di dalam buku dengan mengikuti petunjuk GBPP
secara kaku tanpa membuat modifikasi sesuai dengan filsafat pengajaran bahasa
dengan mengacu pada, misalnya, pendekatan, metoda, teknik, dan sejenisnya (Cf.
Richards & Rodgers, 1986). Atas dasar alasan ini, guru bahasa harus
memiliki kualifikasi yang memadai.
Selain
pendidikan bahasa yang dianggap tidak penting, masalah besar lain adalah bagaimana
bahasa seharusnya didekati dari sudut pandang implementasi pembelajaran dan
pengajaran bahasa pada konteks literasi. Yang biasanya terjadi adalah bahwa
bahasa diajarkan sebagai ilmu pengetahuan yang berisi seperangkat aturan, bukan
sebagai alat komunikasi secara tulis dan lisan.Pada latar sekolah, misalnya,
siswa biasanya diajar untuk memiliki pengetahuan bahasa sebagai bahasa, bukan
untuk trampil berbahasa pada situasi nyata. Penelitian literasi anak sekolah
dasar di Surakarta oleh Santosa, Wiratno, &Yustanto (1996) menunjukkan
bahwa siswa dapat menyusun kalimat lepas-lepas secara individual, tetapi mereka
sangat lemah dalam merangkaikan kalimat dalam bentuk wacana yang bermakna. Hal
ini menunjukkan bahwa mereka dapat membaca dan menulis kalimat tetapi tidak
dapat membangun makna eksperiensial yang mencerminkan konfigurasi konteks
situasi dan konteks budaya ke dalam teks yang lebih abstrak (Halliday,
1978).Kenyataan ini juga terbukti pada kemampuan berbahasa siswa sekolah
lanjutan atas yang tidak dapat mengkomunikasikan gagasan yang sistematis secara
akademis baik lisan maupun tulis. Keadaan yang sama juga terjadi pada
penguasaan mereka terhadap bahasa asing (khusunya Inggris). Gejala ini sebagian
dapat diterangkan dari hasil penelitian di atas bahwa kegiatan yang dilakukan
di sekolah tidak selalu sejalan dengan peristiwa yang dihadapi di rumah dan
masyarakat.Di sekolah mereka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi di luar kelas
(meskipun masih di lingkungan sekolah) dan di rumah mereka menggunakan bahasa selain
bahasa Indonesia.Demikian pula yang terjadi dengan Bahasa Inggris, mereka tidak
menggunakan bahasa Inggris di luar sekolah.Dengan demikian, dapat digarisbawahi
bahwa mengajarkan bahasa tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga
ketrampilan.Mengajarkan bahasa bukan persoalan penguasaan pola-pola kebahasaan
melainkan bagaimana membuat siswa dapat menggunakan bentuk-bentuk bahasa itu
pada konteks yang dikehendaki.
Keadaan di
atas terjadi, karena–sebagaimana telah disebutkan–bahasa tidak diajarkan berdasarkan
perinsip-prinsip literasi. Setidak-tidaknya di Indonesia, literasi hanya
dimaknai sebagai “pemelekhurufan”, dengan titik berat pada usaha mengajari
orang untuk dapat membaca dan menulis. Jika demikian halnya, maka orang hanya
diharapkan dapat menulis dan melafalkan kata.Mereka tidak terlibat pada
kegiatan membaca dan menulis sebagai bentuk ungkapan personal dan interpretasi
kultural.Padahal, literasi berkenaan dengan usaha yang dilakukan untuk membuat
orang dapat menyerap informasi sehingga menjadi berpengetahuan.Jane Mace bahkan
menegaskan bahwa melakukan usaha literasi lebih dari sekedar mencari “a
solution of the problem of illiteracy” (Mace, 1992: xv).Ini berarti bahwa
“melek huruf” meliputi kemampuan untuk menyerap dan menyebarkan informasi pada
ranah yang berbeda dengan tujuan yang berbeda pula.Literasi menyankut berbagai
manifestasi sisi kegiatan membaca, menulis, dan berpikir yang dengan kegiatan
ini makna terungkap pada konteks sosio-kultural (Perez, 1998: 4). Karena
literasi selalu terikat secara sosial dan kultural, orang diharapkan terbiasa
dengan apa pun yang dipublikasikan melalui media, baik cetak maupun
elektronika, dan mereka sendiri dapat memaknai apa yang mereka serap serta
dapat mengkomunikasikannya dengan berbagai cara.
Pada konteks
inilah pendidikan dan pengajaran bahasa seharusnya disandarkan.Namun demikian,
dapat disimak bahwa pendidikan bahasa di Indonesia telah jauh menyimpang dari
pengembangan litarasi, sebagaimana terbukti bahwa siswa hanya diajari untuk
dapat melafalkan huruf dan menghapalkan rumus-rumus bahasa tanpa melihat fungsi
bahasa yang multidimensional.Berdasarkan pada fenomena ini, ternyata Indonesia
telah menanamkan tidak saja “pembutahurufan politik” (Santosa, 1998b) sebagai
akibat dari supremasi Penguasa Orde Baru selama lebih dari 30 tahun, tetapi
juga pembutahurufan di bidang budaya, sosial, dan mental sekaligus.Seandainya
pengajaran bahasa dilakukan dengan menggunakan perspektif bahwa bahasa tidak
dipandang sebagai pengetahuan yang harus mengerti tetapi.
sebagai
ketrampilan yang harus dikuasai dalam mengungkapkan masalah-masalah sosial,
ekonomi, budaya, dan politik, maka pengajaran bahasa yang demikian sudah
sejalan dengan prinsip-prinsip literasi.
Di Indonesia,
sebagai negara yang multilingual dan multikultural1,
orang menggunakan bahasa daerah secara lokal dan Bahasa Indonesia secara
nasional. Akan tetapi sebagian orang menggunakan bahasa asing, terutama
Inggris, untuk menghadapi kebutuhan internasioanal di dunia global. Dengan
menyadari kenyataan ini, perlu dipertimbangkan akan diterapkannya literasi pada
berbagai lapis pengungkapan melalui berbagai sarana seperti multimedia dengan
tidak mengesampingkan kebinekaan Indonesia dan keterkaitan global.
“Multiliteracies argument suggests the necessity of an open-ended and flexible
functional grammar which assists language learners to describe language
differences … and the multimodal channels of meaning now so important to
communication” (Cope & Kalantzis, 2000: 6).
Pada lingkup
ini, menata kembali pendidikan bahasa dalam hal “apa yang diajarkan” dan
“bagaimana mengajarkannya” sangatlah mendesak untuk dilakukan. Pada tulisan
ini, kedua hal tersebut akan dibicarakan secara bersama-sama dalam paparan
tentang model pendidikan bahasa di latar multilingual/multikultural dan tentang
model pengajaran bahasa dengan memadukan bidang ilmu yang diajarkan ke dalam
kegiatan berbahasa.
2. Pendidikan
Bahasa di Latar Multilingual and Multikultural
Terdapat
beberapa megara multilingual dan multikultural, seperti Inggris, Amerika Serikat,
dan Australia.Akan tetapi, peta linguistik di Indonesia berbeda jauh dengan
peta linguistik di negara-negara tersebut. Atas dasar keunikan keanekabahasaan
dan keanekaragaman budaya di Indonesia, pendidikan dan pengajaran bahasa di
negara ini seharusnya dilaksanakan secara berbeda apabila dibandingkan dengan
negara-negara multilingual dan multikultural yang lain.
Keanekabahasaan
di ketiga negara tersebut, misalnya, berbeda dengan keanekabahasaan di
Indonesia dalam beberapa hal.Pertama, bahasa nasional di ketiga negara tersebut
adalah Bahasa Inggris–yang merupakan bahasa dunia, sedangkan di Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa lokal di globe ini, dan Bahasa
Inggris merupakan bahasa asing pertama.
Kedua, bahasa
lokal di negara-negara tersebut adalah bahasa etnis yang dibawa oleh para
imigran yang datang ke negara-negara tersebut dan mereka tidak menggunakan
bahasa mereka itu di masyarakat tempat mereka hidup (kecuali sebagian kecil di
ranah keluarga), sedangkan di Indonesia bahasa lokal adalah bahasa daerah yang
berkembang secara alami dan dipakai sebagai alat komunikasi pada ranah yang
lebih luas di masyarakat tempat para penuturnya tinggal, termasuk keluarga,
pendidikan, tempat kerja agama, media cetak/elektronika, dan sebagainya. Dapat digarisbawahi
bahwa keanekabahasaan di negera- begara tersebut bersifat personal, sedangkan
di Inodnesia keanekabahasaannya bersifat komunal. Pendek kata, di ketiga negara
tersebut terdapat sejumlah orang yang dapat berbahasa lebih dari satu bahasa
tetapi tidak menggunakan bahasa etnis mereka itu di masyarakat, sedangkan di
Indonesia orang berbicara lebih dari satu bahasa, dan bahasa ibu mereka pada
umumnya adalah bahasa daerah yang betul-betuk mereka gunakan di masyarakat
untuk berbagai keperluan. Pada saat yang sama, Bahasa Indonesia juga digunakan
sebagai alat komunikasi secara luas.
Ketiga, dari
sudut pandang pembelajaran bahasa di latar kedwibahasaan, anak-anak Indonesia
sering memperoleh Bahasa Indonesia segera setelah atau bersamaan dengan
pemerolehan bahasa ibu.Dengan demikian, dalam beberapa latar, Bahasa Indonesia
merupakan bahasa kedua bagi sejumlah anak, tetapi di latar yang lain, baik
Bahasa Indonesia maupun bahasa daerah merupakan bahasa ibu mereka.
Keempat,
berkaitan dengan identitas bahasa dan sikap bahasa, di ketiga negara tersebut
orang cenderung menggunakan bahasa etnis mereka pada saat mereka bertemu dengan
teman sesama negara asal.Di ketiga negara tersebut, memelihara bahasa etnis
sebagai bahasa kebanggaan nasional bukanlah kepedulian para imigran (Wiratno,
1993}2, tetapi di Indonesia mempertahankan bahasa daerah
merupakan persoalan serius yang menyangkut sikap budaya dan kebanggaan
bahasa.Bagi para imigran, kehilangan bahasa etnis bukanlah persoalan berarti,
tetapi kehilangan bahasa daerah di Indonesia berarti kehilangan identitas.
Dengan
melihat peta linguistik di Indonesia yang demikian itu bahwa kebutuhan
menggunakan ketiga kelompok bahasa tersebut tidak terlelakkan, pendididkan
bahasa yang terencana dengan baik harus segera dicari. Berikut ini setelah
beberapa model pendidikan kedwibahasaan disampaikan, akan ditawarkan model yang
diperkirakan cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Hornberger
(1991) mengelompokkan program pendidikan kedwibahasaan menjadi tiga model,
yaitu model transisional (transitional model), model
pemertahanan (maintenance model), dan model pengayaan (enrichment model).
The
transitional model encompasses all of those bilingual education programmes that
encourage language minority students to shift to majority language, assimilate
to mainstream cultural norms, and be incorporated into national society. By
majority language, Hornberger (1991) means the official language of the
national society, and by minority language she means students whose native
language is not the official language of the national society. The maintenance
model encompasses all of those programmes that encourage language minority
students to maintain their native language, strengthen their cultural identity,
and affirm their civil rights in the national society. The enrichment model
encompasses all of those bilingual education programmes that encourage the
development of minority languages on the individual and collective levels,
cultural pluralism at school and in the community, and an integrated national
society based on the autonomy of cultural groups (Freeman, 1998: 3).
Contoh
pendidikan kedwibahasaan yang paling menonjol yang sering diacu pada diskusi di
bidang ini adalah program yang diselenggarakan di Kanada (Lihat misalnya Swain,
1979; Swain & Lapkin, 1982, dan Baker, 1996).Program yang disebut program
imersi ini diawali pada tahun 1965 untuk mempromosikan persamaan sosio-budaya
pada dua kelompok penduduk yang berasal dari Perancis dan Inggris.Bahasa
Perancis dan Inggris digunakan sebagai media pengajaran dengan tujuan bahwa
siswa dapat berbahasa dengan fasih pada kedua bahasa tersebut secara seimbang.
Program imersi yang lain dilakasanakan di Amerika Serikat pada tahun 1971 untuk
memacu kemampuan siswa dalam berbahasa Spanyol sebelum
2 Di bagian
ini, saya memberikan tekanan pada kasus pemertahanan Bahasa Indonesia di
Sydney, Australia, bahwa Bahasa Indonesia hanya merupakan salah satu bahasa
etnis di negara ini, dan orang Indonesia yang tinggal di kota ini tidak peduli
apakah Bahasa Indonesia akan mendapatkan tempat atau tidak; Cf. Faltis &
Wolfe, Eds., 1999 tentang profil mutakhir pendidikan bahasa di Amerika Serikat,
dengan membandingkan bahasa etnis dan Bahasa Inggris yang mendominasi; dan
lihat Clyne, 1993 tentang pemetaan bahasa etnis di Australia).
siswa beralih
ke Bahasa Inggris sebagai bahasa akademis utama (Brinton, Snow & Wesche,
1989: 8). Program ini termasuk ke dalam model transisi yang ternyata di
kemudian hari popular di Amerika Serikat dengan siswa yang diidentifikasi
sebagai memiliki kemampuan berbahasa Inggris terbatas (Freeman, 1998:
4).Meskipun model pemertahanan, yang pada dasarnya beranggapan bahwa berbahasa
merupakan hak, tidak begitu terkenal di Amerika Serikat, tetapi di Inggris
terdapat gerakan yang mempromosikan penggunaan bahasa minoritas di sekolah.
Sebagai contoh, “Designated Bilingual Schools” yang dilaksanakan di
South Wales
bertujuan untuk mendidik anak dengan menggunakan bahasa etnis mereka (Baker,
1996: 356-357). Di Australia, di pihak lain, terlepas dari kenyataan bahwa
terdapat banyak program kedwibahasaan yang sebagian besar tergolong ke dalam
model transisi, masa depan bahasa lain selain Bahasa Inggris tidak begitu cerah
dalam hal pengembangan dan pemertahanan (Smolicz & Lean, 1979: 67).
Sangat
disayangkan bahwa sampai hari ini potensi keanekabahasaan di Indonesia belum
dipertimbangkan dalam pengembangan pendidikan kebahasaan.Menurut Nababan (1979:
209-210), sistem pendididkan di Indonesia tidak dirancang untuk mempromosikan
situasi keanekabahasaan tersebut.Meskipun demikian, bukan berarti bahwa
pemerintah tidak memberikan tempat pada bahasa daerah di kurikulum
sekolah.Pedidikan tidak dirancang demikian karena diyakini bahwa bahasa-bahasa
daerah dapat dipelajari oleh anak-anak secara alami karena bahasa-bahasa itu digunakan
di masyarakat.
Sistem
pendidikan bahasa di Indonesia adalah monolingual, dan Bahasa Indonesia adalah
satu-satunya bahasa yang digunakan sebagai media pengajaran secara formal.Betul
bahwa di beberapa daerah bahasa-bahasa daerah dapat digunakan di sekolah dasar
sampai tahun ketiga, tetapi hal ini dilakukan hanya untuk memberi kesempatan
kepada anak-anak untuk menggunakan bahasa daerah sebelum mereka siap beralih ke
dalam Bahasa Indonesia.
Dalam
kaitannya dengan ketiga model pendidikan kedwibahasaan di atas, model di
Indoneisa bukanlah model transisional, karena model ini tidak diarahkan untuk
memadukan bidang ilmu yang diajarkan ke dalam tujuan pengajaran bahasa daerah.
Model ini juga bukan model pemertahanan karena model ini tidak mendorong anak untuk
memiliki penguasaan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah secara seimbang, apalagi
bahasa daerah tidak digunakan secara sengaja sebagai media pengajaran. Meskipun
di beberapa tempat bahasa-bahasa daerah diberikan dari sekolah dasar sampai
sekolah lanjutan atas, tetapi bahasa-bahasa daerah hanya diajarkan sebagai mata
pelajaran semata-mata untuk menunjukan bahwa warna lokal masih ada, bukan
sebagai upaya untuk menjunjung bahasa daerah agar tumbuh sejalan dengan bahasa
Indonesia dan bahasa asing. Di pihak lain, bahasa asing tidak dipertimbangkan
sebagai aset untuk mendukung perkembangan bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Dengan demikian, model di Indonesia bukan pula merupakan model pengayaan.
Model yang
ditawarkan pada tulisan ini adalah model pengayaan yang dimodifikasi.Pada model
ini ketiga kelompok bahasa tersebut dilibatkan sekaligus, berbeda dengan model
pengayaan semula yang hanya melibatkan dua kelompok bahasa. Dengan mengacu pada
hak bahasa, masalah keanekabahasaan, dan peranan penting bahasa pada pendididkan,
model yang ditawarkan ini memposisikan ketiga kelompok bahasa tersebut dalam
proporsi yang relatif seimbang, dengan tidak hanya mengajarkan ketiganya
sebagai mata pelajaran di kurikulum, tetapi menggunakan ketiganya sebagai media
pengajaran di lembaga pendidikan. Namun demikian, dalam hal bahasa asing,
karena Bahasa Inggris merupakan bahasa yang paling dominan di Indonesia, hanya
Bahasa Inggrislah yang disarankan untuk dipilih sebagai media pengajaran.
Pada model
ini, selain Bahasa Indonesia digunakan sebagai media pengajaran di semua
jenjang pendidikan (16 tahun ditambah 2 tahun di taman kanak-kanak),
bahasa-bahasa daerah yang memiliki potensi juga diusulkan menjadi media
pengajaran di sepanjang masa studi di sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama
(9 tahun ditambah 2 tahun di taman kanak- kanak), dan Bahasa Inggris juga
digunakan sebagai media pengajaran dari sekolah lanjutan atas sampai perguruan
tinggi (sekitar 7 tahun). Selain itu, pengajaran ketiga kelompok bahasa itu
sebagai mata pelajaran juga tetap
diberikan.
3. Mengajarkan Bahasa Bersama-sama dengan
Mengajarkan Bidang Ilmu
Untuk
mendukung pengajaran bahasa yang dilaksanakan pada konteks literasi, dan untuk
menggarisbawahi model pendidikan bahasa dalam kerangka kedwibahasaan, berikut
ini akan ditawarkan model pengajaran bahasa yang di dalamnya bahasa dan
kandungan bidang ilmu yang disampaikan diajarkan secara bersama-sama. Model
pengajaran seperti ini sesungguhnya telah lama muncul, dan bahkan akarnya telah
tumbuh ratusan tahun lalu (Mohan, 1986; Brinton, Snow & Wesche, 1989:
4).Model yang mulai popular pada tahun 1980-an ini sekarang banyak dipraktekkan
di latar pengajaran bahasa kedua atau bahasa asing (Brinton, 2000: 48).
Pada dasarnya
model ini merupakan model pengajaran bahasa yang didasarkan pada pemaduan
antara materi yang diajarkan dan bahasa yang digunakan untuk mengajarkan materi
tersebut. Alasan yng mendasari model ini adalah bahwa media yang digunakan
untuk mengajarkan materi adalah bahasa, maka materi itu tidak akan dikuasai kalau
bahasa yang digunakan untuk menyampaikannya tidak dikuasai. Sebagai contoh,
mengajarkan biologi dapat dilakukan besama-sama dengan mengajarkan bahasa yang
digunakan, dan dengan demikian, konsep-konsep biologi yang diajarkan hanya akan
dipahami kalau bahasa yang digunakan untuk menggambarkan konsep itu dimengerti.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa materi disampaikan melalui penggunaan
bahasa, dan kegiatan belajar mengajar diimplementasikan dengan mengaktifkan
ketrampilan berbahasa (membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan) untuk
mengungkapkan bidang ilmu yang dipelajari.Dengan kata lain, model ini adalah
model pengajaran bahasa yang didasarkan pada kandungan materi yang disusupkan
ke dalam kegiatan berbahasa3.
Berkenaan
dengan model yang diusulkan di atas bahwa Bahasa Indonesia, bahasa- bahasa
daerah yang berpotensi, dan Bahasa Inggris (yang mewakili bahasa asing)
digunakan sebagai media pengajaran secara bersama-sama secara proporsional,
kerangka kerja model pengajaran bahasa yang dimaksudkan di sini dapat
dikemukakan sebagai berikut.
Bahasa-bahasa
daerah yang potensial diharapakan dapat digunakan sebagai media untuk
mengajarkan bidang-bidang yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, budaya,
ketrampilan, seni tradisional, sastra dan filsafat lokal, serta kandungan lokal
lainnya.Bahasa Inggris digunakan untuk mengajarkan bidang yang berkaitan dengan
ilmu dan teknologi.Adapun Bahasa Indonesia digunakan secara kombinasi untuk
media pengajaran yang meliputi semua bidang dari bidang yang menyangkut
nilai-nilai moral sampai bidang yang menyangkut ilmu dan teknologi.
Kerangka
kerja tersebut dapat mengeliminasi kontroversi bahwa porsi pendidikan bahasa di
negara ini lebih kecil daripada porsi bidang-bidang yang berkaitan dengan ilmu
dan teknologi. Sepanjang peranan penting diberikan kepada ketiga kelompok
bahasa itu untuk menjadi media dalam mengajarkan bidang-bidang di atas, tidak
hanya dalam pengajaran bahasa sebagai mata pelajaran, model tersebut sudah
secara otomatis merupakan pengajaran
bahasa.
Dengan demikian, pendidikan bahasa tidak lagi dianggap periperal. Di pihak
lain, dari sudut padang konteks multilingual dan multikultural di Indonesia,
model tersebut akan menunjang pewarisan bahasa dan budaya di negara ini. Tidak
kalah penting dengan kedua argumen itu, model ini pada gilirannya juga akan
meningkatkan pengembangan literasi. Dengan pemahaman dan penguasaan ketiga
kelompok bahasa tersebut, kesempatan untuk menyerap dan menyebarkan informasi
dari berbagai sudut pandang akan semakin terbuka.
Penutup/Simpulan
Setelah
mereview beberapa model pendidikan kedwibahasaan di sejumlah negara dan membandingkan
model-model itu dengan pendidikan bahasa di Inodneisa, pada paper ini telah
ditawarkan sebuah model pendididkan bahasa yang mempertimbangkan ketiga
kelompok bahasa tersebut sebagai media pengajaran, tidak sebatas sebagai mata
pelajaran.Untuk melengkapi model tersebut, telah disarankan untuk menerapkan
pengajaran bahasa yang memadukan kandungan materi ke dalamnya. Penerapan model
pendidikan dan pengajaran bahasa seperti itu ternyata telah mempraktekkan
pelaksanaan pengembangan literasi yang mengedepankan fungsi masing-masing
bahasa yang ada di Indonesia.
Akan tetapi,
penerapan model tersebut dalam praktek pendidikan dan pengajaran bahasa mungkin
akan menimbulkan implikasi sebagai berikut.
(1)Promosi bahasa-bahasa daerah untuk dijadikan bahasa pengantar di
sekolah hendaknya tidak dianggap sebagai distorsi terhadap peranan Bahasa
Indonesia sebagai alat untuk meng-Indonesia-kan seluruh megara pada konteks
modernisasi (Alisyahbana, 1984b). Sebaliknya, pada konteks hak berbahasa,
dengan mengacu pada Penjelasan Tambahan UUD 1945, usaha seperti itu akan
mendukung corak pluralitas budaya Indonesia. Dipihal lain, pada gilirannya,
Bahasa Inggris dapat mempercepat poses pemodernisasian Indonesia.
(2)Kesulitan mungkin timbul apakah bahasa daerah yang diharapkan
untuk dipakai sebagai media pengajaran dapat mengungkapkan wilayah ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama yang berkaitan dengan rentangan kosakatanya,
sedangkan Bahasa Indonesia itu sendiri apabila dibandingkan dengan Bahasa
Inggris juga belum dapat. Akan tetapi apabila kedua kelompok bahasa itu
dibiarkan terbuka dari pengaruh luar, istilah-istilah asing dapat diserap dengan leluasa.
Demikian pula, berkenaan dengan perencanaan bahasa, kontak bahasa sebagai
akibat dari penerapan model pendidikan dan pengajaran bahasa
yang
ditawarkan di atas hendaknya dianggap sebagai hal yang bermanfaat untuk
pengembangan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, bukan sebagai hal yang
membahayakan yang dapat merusak sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik kedua kelompok bahasa tersebut
(3)Penerapan model yang diusulkan di sini membutuhkan reformasi
dalam perancangan kurikulum, dan dalam melaksanannya, diperlukan koordinasi
yang baik di antara lembaga-lembaga yang terkait dengan pendidikan bahasa pada khususnya dan
pendikan secara keseluruhan pada umumnya
(4)Terkait dengan perancangan kurikulum baru, masalah-masalah yang kemudian
mengikuti adalah pelatihan guru, penyediaan buku ajar, serta pengadaan
fasilitas dan peralatan.
Daftar Rujukan
Alisyahbana,
S.T. (1984a). “The Problem of Minority Languages in the Overall Linguistic
Problems of Our Time”.In Coulmas, F. Linguistic Minorities and
Literacy. Berlin: Mouton Publishers.
Alisyahbana,
S.T. (1984b). “The Concept of Language Standardisation and Its Application to
Indonesian Language”.In Coulmas, F. Linguistic Minorities and
Literacy. Berlin: Mouton Publishers.
Baker, C. (1996). Foundations of Bilingual Education and Bilingualism, 2nd edition. Clevedon: Multilingual Matters.
Brinton, D.M.
(1999). “Out of the Mouths of Babes: Novice Teacher Insights into Content-
Based Instruction”. In Faltis, C.J. & Wolfe, P.M. (Eds.).So
Much to Say: Adolescents, Bilingualism, and ESL in the Secondary School.
New York: Teachers College Press.
Brinton,
D.M., Snow, M.A. & Wesche, M.B. (1989).Content-Based
Second Language Instruction. New York: Newbury House Publishers.
Clyne, M.
(1993).Community Languages in Australia. Amsterdam: John
Benjamins.
Cope, B. & Kalantzis, M. (Eds.). (2000). Multiliteracies: Literacy Learning
and the Design of Social Future. London and New York:
Routledge.
Faltis, C.J. & Wolfe, P.M. (Eds.). (1999). So Much to Say: Adolescents,
Bilingualism, and ESL in the Secondary School. New York:
Teachers College Press.
Freeman, R.D.
(1998). Bilingual Education and Social Change. Clevedon:
Multilingual Matters.
Halliday,
M.A.K. (1978). Language as Social Semiotic.London:
Edward Arnold.
Kasper, L.F.
(Ed.). (2000). Content-Based College ESL Instruction.
Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Mace, J. (1992). Talking about Literacy: Principles and Practice of Adult Literacy
Education. London and New York: Routledge.
Mohan, B.A.
(1986). Language and Content. Reading, M.A.:
Addition-Wesley.
Nababan,
P.W.J. (1979). “Proficiency Profiles: A Study in Bilingualism and Bilinguality
in Indonesia”. In Boey, L.K. (Ed.), Bilingual Education.
Singapore: Singapore University Press.
Perez, B.
(1998). “Literacy, Diversity, and Programmatic Responses”.In Perez, B. (Ed.).
Sociocultural
Contexts of Language and Literacy. Mahwah, New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates, Publishers.
Phillipsons,
R. (1992). Linguistic Imperialism. Oxford: Oxford
University Press.
Richards, J.C. & Rodgers, T.S. (1986).Approaches and Methods in Language
Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Santosa, R.
(1998a). “Language Democratisation Needs More Understanding”, The
Jakarta Post, July 13, 1998.
Santosa, R.
(1998b). “RI has bred Political Illiteracy”, The Jakarta Post,
September 26, 1998. Santosa, R., Wiratno, T. & Yustanto, H. (1996).The Literacy of The Third Year Elementary Students in Surakarta (Research
Report). Surakarta: Faultas Sastra, Universitas
Sebelas Maret
& Dirjen Dikti.
Smolicz, J.J.
& Lean, R. (1979). “Australian Languages other than English: A Sociological
Study of Attitudes”. In Boey, L.K. (Ed.).Bilingual Education.
Singapore: Singapore University Press.
Swain, M.
(1979). “Bilingual Education for the English-Canadian: Three Models of
‘Immersion’”. In Boey, L.K. (Ed.).Bilingual Education.
Singapore: Singapore University Press.
Swain, M. & Lapkin, S. (1982). Evaluating Bilingual Education: A Canadian Case Study. Clevedon, Avon: Multilingual Matters.
Van Lier, L.
(1995). Introducing Language Awareness. London:
Penguin.
Wiratno, T.
(1993).“Language Maintenance and Shift of Indonesian among Indonesian
Immigrants in Sydney” (Manuskrip yang tidak diterbitkan), Department ofLinguistics,
University of Sydney.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Secara umum, ada dua perbedaan antara penulisan
artikel hasil penelitian dan artikel konseptual.Perbedaan pertama, yakni
terletak pada sifat substansi isi yang ditulis ke dalam artikel.Substansi isi
yang ditulis pada artikel hasil penelitian berupa hasil pemikiran yang sudah
ditemukan dari kegiatan penelitian, sedangkan substansi isi pada artikel
konseptual berupa ide/gagasan penulis yang bersifat hasil analisis kritis
terhadap suatu masalah yang dikaji. Perbedaan kedua, yakni pada aspek anatomi
kedua jenis artikel ilmiah, yaitu (1) anatomi artikel hasil penelitian ada
subbagian metode, hasil, sedangkan pada artikel konseptual tidak ada subbagian
metode dan hasil, (2) substansi isi abstrak pada artikel hasil penelitian lebih
ditekankan pada masalah dan atau tujuan, metode, dan hasilnya, sedangkan pada
artikel konseptual lebih ditekankan pada hal penting tentang gagasan yang
dikembangkan dalam artikel, dan (3) anatomi artikel hasil penelitian, penutup
berisi simpulan dan atau saran (bila dipandang sangat perlu), sedangkan pada
artikel konseptual berisi ringkasan analisis atau simpulan berbentuk sintesis.
Teknik penulisan artikel hasil penelitian dan
artikel konseptual merupakan wahana berkomukasi ilmiah yang menarik, efektif
dan efisien.Keduanya memiliki kesamaan tuntutan persyaratan yang perlu diikuti.
Kesamaan tuntutan persyaratan tersebut, antara lain: (1) aspek tuntutan
kualitas substansi isi, (2) keutuhan dan keruntutan pengembangan gagasan, (3)
penerapan kaidah pengolahan karya ilmiah, dan (4) ketaatasasan terhadap tata
tulis ilmiah. Dengan mengetahui kedua teknik tersebut, penulis artikel dapat
menghasilkan artikel yang dikehendaki.
Daftar Pustaka
Ba’im. 2012. Bimbingan Penulisan Ilmiah. Yogyakarta: Ombak.
Dalman. 2012. Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Nursyamsu. 2009.
“Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Melalui Pembelajaran
Kooperatif Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Enrekang,” Jurnal Ilmu Kependidikan,
Volume 6, Nomor 2, September 2009.
Suherli. 2008. Menulis
Karangan Ilmiah, Kajian dan Penunutun dalam Menyusun Karya Tulis Ilmiah.
Depok: Arya Duta.
Ulfatin, Nurul.
2010. “Penulisan Artikel Ilmiah”, bahan pelatihan karya tulis WI,
yang dilaksanakan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan di
Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar