Kamis, 12 Januari 2017

REVIU PENELITIAN PEMEROLEHAN BAHASA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakan
Bahasa pada anak-anak terkadang sukar diterjemahkan, karena anak pada umumnya masih menggunakan struktur bahasa yang masih kacau dan masih mengalami tahap transisi dalam berbicara, sehingga sukar untuk dipahami oleh mitratuturnya. Untuk menjadi mitratutur pada anak dan dapat memahami maksud dari pembicaraan anak, mitratutur harus menguasai kondisi atau lingkungan sekitarnya, yakni ketika anak kecil berbicara mereka menggunakan media di sekitar mereka untuk menjelaskan maksud yang ingin diungkapkan kepada mitratutrnya di dalam berbicara. Selain menggunakan struktur bahasa yang masih kacau, anak-anak juga cenderung masih mengalami keterbatasan dalam kosakata (leksikon) dan dalam pelafalan fonemnya pun kurang tepat. Lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak, sehingga hasil bahasa yang diucapkan oleh anak-anak berdasarkan dari kemampuanya dalam berinteraksi langsung pada bahasa-bahasa yang ada di sekitarnya.
’Pemerolehan bahasa’ yang diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh kanak-kanak untuk mencapai kesuksesan penguasaan yang lancar serta fasih terhadap ’bahasa ibu’ mereka atau yang sering dikenal dengan bahasa yang terbentuk dari lingkungan sekitar. ’Pemerolehan’ tersebut dapat dimaksudkan sebagai pengganti ’belajar’ karena belajar cenderung dipakai psikologi dalam pengertian khusus dari pada yang sering dipakai orang (Tarigan, Guntur; 1986: 248). Dalam hal ini pemerolehan bahasa pada anak akan membawa anak pada kelancaran dan kefasihan anak dalam berbicara. Rentang umur anak di usia balita umumnya mempunyai kemampuan dalam menyerap sesuatu dan ingatan cenderung lebih cepat dibandingkan usia-usai diatas balita.


Akan tetapi kita masih mempunyai banyak pertanyaan yang tidak terjawab tentang bagaimana sebenarnya anak-anak memperoleh bahasa. Bagaimana cara mereka menentukan apa makna kata-kata atau bagaimana cara menghasilkan ujaran yang bersifat gramatika yang belum pernah mereka dengar atau yang diproduksi sebelumnya? Apakah anak-anak belajar bahasa karena orang dewasa mengajarkannya kepada mereka? Atau karena mereka diprogramkan secara genetik untuk memperoleh bahasa? Apakah mereka belajar gramatika yang kompleks hanya karena hal itu ada di sana, atau apakah mereka belajar dalam rangka memenuhi beberapa kebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain?

1.2  Rumusan Masalah
Dari pembahasan di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :
1.       Bagaimana seorang anak itu memperoleh bahasa?
2.       Bagaimana proses pemerolehan bahasa anak?
3.       Apakah factor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa pada anak?

1.3 Tujuan Masalah
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.       Untuk mengetahui bagaimana seorang anak memperolah bahasanya
2.       Untuk mengetahui bagaimana proses pemerolehan bahasa pada anak
3.       Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa pada anak
BAB II
PEMBAHASAN

3.1    Pengertian Pemerolehan Bahasa Pada Anak
Pemerolehan bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa menurut Maksan (1993:20) adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar, implisit, dan informal. Lyons (1981:252) menyatakan suatu bahasa yang digunakan tanpa kualifikasi untuk proses yang menghasilkan pengetahuan bahasa pada penutur bahasa disebut pemerolehan bahasa. Artinya, seorang penutur bahasa yang dipakainya tanpa terlebih dahulu mempelajari bahasa tersebut.
Stork dan Widdowson (1974:134) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa dan akuisisi bahasa adalah suatu proses anak-anak mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya. Sedangkan Huda (1987:1) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses alami di dalam diri seseorang menguasai bahasa. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur asli lingkungan bahasa itu. Dengan demikian, istilah pemerolehan bahasa mengacu ada penguasaan bahasa secara tidak disadari dan tidak terpegaruh oleh pengajaran bahasa tentang sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa pembelajaran bahasa adalah suatu proses secara sadar yang dilakukan oleh anak (pembelajar) untuk menguasai bahasa yang dipelajarinya. Penguasaan bahasa tersebut biasanya dilakukan melalui pengajaran yang formal dan dilakukan secara intensif. Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan pemerolehan bahasa adalah suatu proses penguasaan bahasa anak yang dilakukan secara alami yang diperoleh dari lingkungannya dan bukan karena sengaja mempelajarinya dengan verbal. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur asli di lingkungan bahasa itu.



3.2.1  Pandangan Teori Pemerolehan Bahasa
Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah dinyatakan bahwa pembelajaran bahasa adalah suatu proses secara sadar yang dilakukan oleh anak (pembelajar) untuk menguasai bahasa yang dipelajarinya. Penguasaan bahasa tersebut biasanya dilakukan melalui pengajaran yang formal dan dilakukan secara intensif. Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan pemerolehan bahasa adalah suatu proses penguasaan bahasa anak yang dilakukan secara alami yang diperoleh dari lingkungannya dan bukan karena sengaja mempelajarinya dengan verbal. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur asli di lingkungan bahasa itu.
1.      Teori Pemerolehan Bahasa Behavioristik
Paling tidak ada tiga pandangan yang berkaitan dengan teori pemerolehan bahasa. Ketiga pandangan itu ialah teori behavioristik, teori mentalistik, dan teori kognitiftik. Untuk lebih jelasnya ketiga teori tersebut dapat diuraikan satu per satu berikut ini. Menurut pandangan kaum behavioristik atau kaum empirik atau kaum antimentalistik, bahwa anak sejak lahir tidak membawa strutur linguistik. Artinya, anak lahir tidak ada struktur linguistik yang dibawanya. Anak yang lahir dianggap kosong dari bahasa.
Mereka berpendapat bahwa anak yang lahir tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Brown dalam Pateda (1990:43) menyatakan bahwa anak lahir ke dunia ini seperti kain putih tanpa catatan-catatan, lingkungannyalah yang akan membentuknya yang perlahan-lahan dikondisikan oleh lingkungan dan pengukuhan terhadap tingkah lakunya.
Pengetahuan dan keterampilan berbahasa diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akuisisi bahasanya. Dengan demikian, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui pewarisan kebudayaan, sama halnya seperti orang yang akan belajar mengendarai sepeda. Menurut Skinner (Suhartono, 2005:73) tingkah laku bahasa dapat dilakukan dengan cara penguatan. Penguatan itu terjadi melalui dua proses yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, yang paling penting di sini adalah adanya kegiatan mengulangulang stimulus dalam bentuk respon. Oleh karena itu, teori stimulus dan respon ini juga dinamakan teori behaviorisme.
Dikaitkan dengan akuisisi bahasa, teori behavioris mendasarkan pada proses akuisisi melalui perubahan tingkah laku yang teramati. Gagasan behavioristik terutama didasarkan pada teori belajar yang pusat perhatian tertuju pada peranan lingkungan, baik verbal maupun nonverbal. Teori belajar behavioris ini menjelaskan bahwa perubahan tingkah laku dilakukan dengan menggunakan model stimulus (S) dan respon (R) Dengan demikian, akuisisi bahasa dapat diterangkan berdasarkan konsep SR. Setiap ujaran dan bagian ujaran yang dihasilkan anak adalah reaksi atau respon terhadap stimulus yang ada. Apabila berkata, “Bu, saya minta makan”, sebenarnya sebelum ada ujaran ini anak telah ada stimulus berupa perut terasa kosong dan lapar. Keinginan makan, antara lain dapat dipenuhi dengan makan nasi atau bubur. Bagi seorang anak yang beraksi terhadap stimulus yang akan datang, ia mencoba menghasilkan sebagian ujaran berupa bunyi yang kemudian memperoleh pengakuan dari orang yang di lingkungan anak itu.
Kaum behavioris memusatkan perhatian pada pola tingkah laku berbahasa yang berdaya guna untuk menghasilkan respon yang benar terhadap setiap stimulus. Apabila respon terhadap stimulus telah disetujui kebenarannya, hal itu menjadi kebiasaan. Misalnya seorang anak mengucapkan , "ma ma ma",dan tidak ada anggota keluarga yang menolak kehadiran kata itu, maka tuturan "ma ma ma", akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu akan diulangi lagi ketika anak tadi melihat sesosok tubuh manusia yang akan disebut ibu yang akan dipanggil "ma ma ma". Hal yang sama akan berlaku untuk setiap kata-kata lain yang didengar anak. Teori akuisisi bahasa berdasarkan konsep behavioris menjelaskan bahwa anak-anak mengakuisisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini Pateda (1990:45) menyatakan bahwa faktor yang penting dalam peniruan adalah frekuensi berulangnya satu kata dan urutan kata. ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan, sehingga anak akan lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Seandainya kata dan urutan kata itu salah, maka lingkungan tidak akan memberikan pengukuhan. dengan cara ini, lingkungan akan mendorong anak menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.
2.      Teori Pemerolehan Bahasa Mentalistik
Menurut pandangan kaum mentalis atau rasionalis atau nativis, proses akuisisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Chomsky (1959) bahwa anak yang lahir ke dunia ini telah membawa kapasitas atau potensi. Potensi bahasa ini akan turut menentukan struktur bahasa yang akan digunakan. Pandangan ini yang akan kelask disebut hipotesis rasionalis atau hipotesis ide-ide bawaan yang akan dipertentangkan dengan hipotesis empiris yang berpendapat bahwa bahasa diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa anak memiliki kapasitas atau potensi bahasa maka potensi bahasa ini akan berkembang apabila saatnya tiba. Pandangan ini biasanya disebut pandangan nativis (Brown, 1980:20).
Kaum mentalis beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang disebut LAD (Language Acquisition Device). Kelengkapan bahas ini berisi sejumlah hipotesis bawaan. Hipotesis bawaan menurut para ahli berpendapat bahasa adalah satu pola tingkah laku spesifik dan bentuk tertentu dari persepsi kecakapan mengategorikan dan mekanisme hubungan bahasa, secara biologis telah ditemukan (Comsky, 1959).
Mc Neill (Brown, 1980:22) menyatakan bahwa LAD itu terdiri atas:
a.       Kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
b.      Kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian.
c.       Pengetahuan tenteng sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan kecapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, Dengan demikian, dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin diluar data linguistik yang ditemukan.


Pandangan kaum mentalis yang perlu diperhatikan adalah penemuan mereka tentang sistem bekerjanya bahasa anak. Chomsky dan kawan-kawan berpendapat bahwa perkembangan bahasa anak bukanlah perubahan rangkaian proses yang berlangsung sedikit semi sedikit pada struktur bahasa yang tidak benar, dan juga standia lanjut. Akan tetapi standia yang bersistem yang berbentuk kelengkapan-kelengkapan bawaan ditambah dengan pengalaman anak ketika ia melaksanakan sosialisasi diri. Kelengkapan bawaan ini kemudian diperluas, dikembangkan, dan bahkan diubah.
Dalam hubungan anak membawa sejumlah kapasitas dan potensi, kaum mentalis memberikan alasan-alasan sebagai berikut:. Semua manusia belajar bahasa tertentu; semua bahasa manusia sama-sama dapat dipelajari oleh manusia; semua bahasa manusia bebeda dalam aspek lahirnya, tetapi semua bahasa mempunyai ciri pembeda yang umum, ciri-ciri pembeda ini yang terdapat pada semua bahasa merupakan kunci terhadap pengertian potensi bawaan bahasa tersebut. Argumen ini mengarahkan kita kepada pengambilan kesimpulan bahwa potensi bawaan bukan saja potensi untuk dapat mempelajari bahasa, tetapi hal itu merupakan potensi genetik yang akan menentukan struktur bahasa yang akan dipelajarinya.
3.   Teori Akuisisi Bahasa Kognitif
Dalam psikolingustik, teori kognitif ini yang memandang bahasa lebih mendalam lagi. Para penganut teori ini, berpendapat bahwa kaidah generatif yang dikemukakan oleh kaum mentalis sangat abstrak, formal, dan eksplisit serta sangat logis.
Meskipun demikian, mereka mengemukakan secara spesifik dan terbatas pada bentuk-bentuk bahasa. Mereka belum membahas hal-hal menyangkut dalam lapisan bahasa, yakni ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling berpengaruh dalam struktur jiwa manusia. Para ahli bahasa mulai melihat bahwa bahasa adalah manifestasi dari perkembangan umum yang merupakan aspek kognitif dan aspek afektif yang menyatakan tentang dunia diri manusia itu sendiri. Teori kognitif menekankan hasil kerja mental, hasil kerja yang nonbehavioris. Proses-proses mental dibayangkan sebagai yang secara kualitatif berbeda dari tingkah laku yang dapat diobservasi. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur di dalam bahasa yang ia dengar di sekelilingnya. Baik pemahaman maupun produksi serta komprehensi, bahasa pada anak dipandang sebagai hasil proses kognitif yang secara terus-menerus berkembang dan berubah. Jadi, stimulus merupakan masukan bagi anak yang kemudian berproses dalam otak. Pada otak ini terjadi mekanisme internal yang diatur oleh pengatur kognitif yang kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.
Teori kognitif telah membawa satu persoalan dalam pemberian organisasi kognitif bahasa anak. Persoalan itu, yakni belum ada model yang terperinci yang memeriksa organisasi kognitif bahasa anak itu. Untunglah Slobin telah menformulasikan sejumla prinsip operasi yang telah menarik perhatian para ahli, Clark dan Clark (Hamied,1987:22-23) telah menyusun kembali dan memformulasikan prinsip operasi Slobin tersebut. Prinsip koherensi semantik ada tiga aspek yaitu mencari modifikasi sistematik dalam bentuk kata; mencari penanda gramatis yang dengan jelas menunjukkan perbedaan yang mendasari dan menghindari kekecualian. Prinsip Struktur lahir meliputi: memperhatikan ujung kata; memperhatikan urutan kata, awalan, dan akhiran; dan menghindari penyelaan atau pengaturan kembali satu-satuan linguistik.
Tiga Prinsip koherensi semantik behubungan dengan peletakan gagasan terhadap bahas, sedangkan tiga prinsip struktur lahir berkenaan dengan masalah segmentasi yaitu bagaimana membagi alur ujaran yang terus-menerus menjadi satuan-satuan linguistik yang terpisah dan bermakna.Penganut teori kognitif beranggapan bahwa ada prinsip yang mendasari organisasi linguistik yang digunakan oleh anak untuk menafsirkan serta mengoperasikan lingkungan linguistiknya. Semua ini adalah hasil pekerjaan mental yang meskipun tidak dapat diamati, jelas mempunyai dasar fisik. Proses mental secara kualitatif berbeda dari tingkah laku yang dapat diamati, dan karena berbeda dengan pandangan behavior (Pateda, 1990).




2.2  Tahap  Proses Pemerolehan Bahasa Pada Anak
Berbagai penelitian membuktikan bahwa manusia normal mengalami tahapan yang hampir sama dalam pemerolehan bahasa pertamanya. Dalam hal ini, peneliti mengambil teori dari tiga orang ahli yaitu Aitchison, Schaerlaekens, dan Ruqayyah.
1.       Perkembangan Bahasa Menurut Aitchison
 Menurut Aitchison dalam Harras dan Andika (2009: 50-56), tahap kemampuan bahasa anak terdiri atas hal-hal berikut.
Tahap Perkembangan Bahasa
Usia
Menangis
Lahir
Mendekur
6 minggu
Meraban
6 bulan
Pola intonasi
8 bulan
Tuturan satu kata
1 tahun
Tuturan dua kata
18 bulan
Infleksi kata
2 tahun
Kalimat tanya dan ingkar
2 ¼ tahun
Konstruksi yang jarang dan kompleks
5 tahun
Tuturan yang matang
10    ahun

a)      Menangis
Menangis pada bayi ternyata memiliki beberapa tipe makna. Ada tangisan untuk minta minum, minta makan, kesakitan, dan sebagainya. Tangisan merupakan komunikasi yang bersifat instingtif seperti halnya sistem panggil pada binatang. Hasil penelitian membuktikan bahwa makna tangisan itu bersifat universal.
b)      Mendekur
Fase yang mirip dekuran merpati ini dimulai saat anak berusia sekitar enam tahun. Mendekur sebenarnya sulit dideskripsikan. Bunyi yang dihasilkannya mirip dengan bunyi vokal, tetapi hasil penelitian menggunakan spektogram menunjukkan bahwa hasil bunyi itu tidak sama dengan bunyi vokal yang dihasilkan orang dewasa. Beberapa buku menyebut fase ini sebagai gurgling atau mewling. Mendekur pun bersifat universal.
c)      Meraban
Secara bertahap, bunyi konsonan akan muncul pada waktu anak mendekur, dan ketika usia anak mendekati enam bulan, ia memasuki fase meraban. Secara impresif anak menghasilkan vokal dan konsonan secara serentak. Awalnya, ia mengucapkan sebagai suku kata, tetapi akhirnya vokal dan konsonan itu menyatu. Pada fase meraban, anak menikmati eksperimennya dengan mulut dan lidahnya, sehingga fase ini merupakan fase pelatihan bagi alat ucap. Bunyi yang biasanya dikeluarkan berupa mama, papapa, dan dadada.
d)      Pola Intonasi
Anak-anak mulai menirukan pola-pola intonasi sejak usia delapan atau sembilan bulan. Hasil tuturan anak mirip dengan tuturan ibunya. Anak tampaknya menirukan tuturan orang tuanya tetapi hasilnya tidak dipahami oleh orang sekelilingnya. Ibu-ibu sering mengidentifikasikan bahwa anaknya menggunakan intonasi tanya dengan nada tinggi pada akhir kalimatnya, sehingga orang tua sering melatih anaknya berbicara dengan bertanya "Kamu mau apa?" dan sebagainya.
e)       Tuturan satu kata
Sekitar umur dua belas sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Jumlah kata yang diperoleh anak bervariasi. Lazimnya, rata-rata anak memperoleh sekitar lima belas kata. Kata-kata yang biasanya dituturkan misalnya papa, mama, bobo, meong, dan sebagainya.
f)        Tuturan dua kata
Ciri yang paling menonjol dalam fase ini ialah kenaikan kosakata anak yang muncul secara drastis. Ketika usianya menginjak dua setengah tahun, kosakatanya mencapai hampir ratusan kata. Pada awal tahap dua kata ini tuturan anak cenderung disebut telegrafis. Ia berbicara seperti orang mengirim telegram, yakni hanya kata-kata penting saja yang disampaikan. Tuturan yang awalnya Ani susu berubah menjadi Ani mau minum susu.
Infleksi kata. Kata-kata yang awalnya dianggap remeh oleh anak akhirnya dimunculkan juga. Dalam bahasa Indonesia, kata yang biasanya muncul ialah afiks, misalnya anak sebelumnya hanya mengatakan Kakak mukul adik menjadi Kakak memukul adik atau Adik dipukul kakak. Dalam tahap ini pun anak mulai memperoleh kata majemuk, seperti orang tua, namun pemerolehan tersebut tidaklah signifikan karena kemampuan setiap anak bervariasi.
g)      Kalimat tanya dan ingkar
Dalam bahasa Indonesia, anak mulai memperoleh kalimat tanya seperti apa, siapa, dan kapan pada kalimat seperti Apa ini?, Siapa orang itu?, dan Kapan ayah pulang?, sedangkan kalimat ingkar biasanya berupa kalimat-kalimat seperti Kakak tidak nakal, Saya tidak mau makan, Kue ini tidak enak, dan Ini bukan punya adik.
h)       Konstruksi yang jarang atau kompleks
Pada usia lima tahun, anak secara mengesankan memperoleh bahasa yang terus berlanjut meskipun agak lamban. Tuturan anak usia lima tahun berbeda dengan tuturan atau tata bahasa orang dewasa, tetapi mereka tidak menyadari kekurangan mereka itu. Mereka selalu menganggap bahwa tuturannya sama dengan orang dewasa dan akan selalu menyamakannya. Dalam tes pemahaman, anak-anak siap untuk mengerjakan dan menafsirkan struktur yang diberikan kepadanya, tetapi sering mereka menafsirkannya secara keliru. Hal tersebut tampak dalam kalimat majemuk setara atau kalimat majemuk bertingkat yang biasanya mereka tuturkan seperti Ali dan kakaknya pergi ke sekolah meskipun hujan. Tahap inilah yang dianggap tahap rumit dalam fase perkembangan bahasa anak.
i)         Tuturan matang
Perbedaan tuturan anak-anak dengan orang dewasa secara perlahan akan berkurang ketika usia anak semakin bertambah. Ketika usianya mencapai sebelas tahun, anak mampu menghasilkan kalimat perintah yang sama dengan kalimat perintah orang dewasa, misalnya Tolong ambilkan buku itu!.
Ketika meningkat usia pubertas, perkembangan bahasa anak dikatakan sudah lengkap. Tentu saja ia akan terus mengembangkan perbendaharaan kosakatanya, dan kaidah tata bahasanya pun akan berubah.
Menurut Yulianti (2002), semua tahap ini pasti dilalui setiap anak normal, sedangkan anak yang memiliki gangguan fisik hanya melewati beberapa tahap perkembangan bahasa saja. Hal itu menunjukkan bahwa kematangan berbahasa dipengaruhi pula oleh kematangan fisik.

2.3  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Pada Anak
1.      Faktor Intelegensi
Intelengesi adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar. Zanden (1980) mendefinisikannya sebagai kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Intelengesiini bersifat abstrak dan tak dapat diamati secara langsung. Pemahaman kita tentan tingkat intelengensi seseorang hanya dapat disimpulkan melalui perilakunya.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.






2.      Faktor Motivasi
Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan motivasi dapat menjelaskan “Mengapa seorang anak yang normal sukses mempelajari bahasa ibunya”. Sumber motivasi itu ada 2 yaitu dari dalam dan luar diri anak.
Dalam belajar bahasa seorang anak tidak terdorong demi bahasa sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat, seperti lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang (Goodman, 1986; Tompkins dan Hoskisson. 1995). Inilah yang disebut motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan kemunikasi dengan sekitarnya. Kebutuhan komunikasi ini ditunjukkan agar dia dapat dipahami dan memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya.
Dalam perkembangan selanjutnya si anak merasakan bahwa komunikasi bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira sehingg dia pin kerap menerima pujian dan respon baik dari mitra bicaranya. Kondisi ini memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik lagi. Nak karena dorongan belajar anak itu berasal dari luar dirinya maka motivasinya disebut motivasi ekstrinsik.





REVIU TESIS PENELITIAN KUALITATIF
PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK USIA 2 TAHUN
(Studi Kasus Terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini)
KAJIAN PSIKOLINGUISTIK


Tugas              : Penelitian Kualitatif (Pemerolehan Bahasa Pada Anak)
Kelempok       :
1.      Rimasi
2.      Uswatun Khasanah
Judul Tesis

PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK USIA 2 TAHUN
(Studi Kasus Terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini)
KAJIAN PSIKOLINGUISTIK

Nama
Laeli Nur Fauziyah
NPM
2303412033
Tahun
-
1.Pendahuluan
Tesisi ini membahas tentang, Bahasa pada anak-anak terkadang sukar diterjemahkan, karena anak pada umumnya masih menggunakan struktur bahasa yang masih kacau dan masih mengalami tahap transisi dalam berbicara, sehingga sukar untuk dipahami oleh mitratuturnya. Untuk menjadi mitratutur pada anak dan dapat memahami maksud dari pembicaraan anak, mitratutur harus menguasai kondisi atau lingkungan sekitarnya, yakni ketika anak kecil berbicara mereka menggunakan media di sekitar mereka untuk menjelaskan maksud yang ingin diungkapkan kepada mitratutrnya di dalam berbicara. Selain menggunakan struktur bahasa yang masih kacau, anak-anak juga cenderung masih mengalami keterbatasan dalam kosakata (leksikon) dan dalam pelafalan fonemnya pun kurang tepat. Lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak, sehingga hasil bahasa yang diucapkan oleh anak-anak berdasarkan dari kemampuanya dalam berinteraksi langsung pada bahasa-bahasa yang ada di sekitarnya.
Bagaimana cara mereka menentukan apa makna kata-kata atau bagaimana cara menghasilkan ujaran yang bersifat gramatika yang belum pernah mereka dengar atau yang diproduksi sebelumnya? Peneliti tidak mampu untuk sepakat, seperti mengapa anak-anak belajar bahasa: Apakah anak-anak belajar bahasa karena orang dewasa mengajarkannya kepada mereka? Atau karena mereka diprogramkan secara genetik untuk memperoleh bahasa? Apakah mereka belajar gramatika yang kompleks hanya karena hal itu ada di sana, atau apakah mereka belajar dalam rangka memenuhi beberapa kebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain?

2. Metode Penelitian

a.       Pendekatan dan Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Melalui metode kualitatif ini akan dideskripsikan mengenai segi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik Naila pada usia 2 tahun.
b.      Setting dan Subjek Penelitian
v  Setting Penelitian











v  Subjek Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Jalan Raya desa Blater 01/III No.27 Kalimanah, Purbalingga. Tempat tersebut merupakan rumah tempat tinggal Naila. Pengumpulan data dilakukan selama dua hari pada bulan April 2013, sedangkan pengolahan dan penganalisisan data serta penulisan laporan penelitian dilakukan selama 3 minggu pada bulan Juni 2013.

Subjek penelitian ini adalah anak dari kakak perempuan penulis yang bernama Naila Ayu Rafiidah yang berusia 2 tahun. Dalam kesehariannya, Nayla diajarkan memakai bahasa Jawa krama alus oleh keluarganya, tetapi ia lebih banyak menggunakan bahasa Jawa ngoko dalam interaksinya dengan orang lain. Hal ini dimungkinkan karena adanya kebiasaan-kebiasaan dari keluarganya sendiri yang berbahasa ngoko dalam kesehariannya sehingga kemudian diserap oleh Naila.
c.       Prosedur Penelitian
(a)    Tahap Pralapangan
Meliputi tahap penyusunan, perencanaa, dan penyiapan segala bentuk materi sesuatu yang dibutuhkan sebagai bahan dasar tahap berikutnya. Pada tahap ini meliputi (1) penyusunan penelitain meliputi latar belakang, kajian pustaka, penentuan instrument, perencanan pengumpulan data, perekaman data, dan perencanaan prosedur analisis, (2) penentuan di mana dan dari siapa data diperoleh, (3) menyiapkan sarana dan prasarana (logistic).
(b)   Tahap lapangan
Merupakan tahap pengumpulan informasi atau ekplorasi terfokus. (1) pengumpulan data, (2) pengorganisasian data, (pentuturan data), (4) pengkategorian data.
(c)    Tahap Pascalapangan
Dalam penelitian ini berupa penyusunan laporan akhir penelitian dengan terlebih dahulu secara rutin berkonsultasi dengan dosen pembimbing penelitian.
(d)   Pengumpulan Data Dan Instrument Penelitian
v  Pengumpulan Data



















v  Instrumen Peneltian



Pemerolehan data tidak melalui perlakuan (eksperimen). Subjek penelitian sebagai sumber data dibiarkan bercakap-cakap
secara alamiah. Percakapan alamiah itu diharapkan  memunculkan data yang bersifat alamiah. Data alamiah menjadi ciri khas penelitian ini.Dalam penelitian sederhana ini  data diperoleh melalui teknik  perekaman dan pencatatan. Perekaman dilakukan pada saat terjadi komunikasi antar keluarga.


















Instrumen yang digunakan dalam penelitian sederhana ini peneliti sendiri, juga digunakan tape recorder untuk merekam selama terjadinya proses komunikasi, dan alat pencatat yang digunakan setelah perekaman berlangsung.









(e)    Analisis Data

Data secara keseluruhan dianalisis dengan menggunakan  teknik analisis daskriptif kualitatif. Langkah yang dilakukan adalah data yang berupa rekaman ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan.


(f)    Pengecekan Keabsahan Data











BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Pemerolehan bahasa anak dapat secara maksimal diperoleh dari lingkungannya, sehingga pemerolehan yang maksimal dapat mempengaruhi output bahasa yang dikeluarkan dari anak tersebut. Untuk menjadi mitratutur pada anak dan dapat memahami maksud dari pembicaraan anak, mitratutur harus menguasai kondisi atau lingkungan sekitarnya, yakni ketika anak kecil berbicara mereka menggunakan media di sekitar mereka untuk menjelaskan maksud yang ingin diungkapkan kepada mitratutrnya di dalam berbicara
’Pemerolehan bahasa’ yang diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh kanak-kanak untuk mencapai kesuksesan penguasaan yang lancar serta fasih terhadap ’bahasa ibu’ mereka atau yang sering dikenal dengan bahasa yang terbentuk dari lingkungan sekitar. ’Pemerolehan’ tersebut dapat dimaksudkan sebagai pengganti ’belajar’ karena belajar cenderung dipakai psikologi dalam pengertian khusus dari pada yang sering dipakai orang (Tarigan, Guntur; 1986: 248). Dalam hal ini pemerolehan bahasa pada anak akan membawa anak pada kelancaran dan kefasihan anak dalam berbicara. Rentang umur anak di usia balita umumnya mempunyai kemampuan dalam menyerap sesuatu dan ingatan cenderung lebih cepat dibandingkan usia-usai diatas balita.







Daftar Pustaka

Chaer, Abdul.2009.Psikolinguistik: Kajian Teoretik.Jakarta:Rineka Cipta
Djardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik:Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Harras, Kholid A. dan Andika Dutha Bachari. (2009). Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung: UPI press.
Mar’at, Samsunuwiyati. (2005). Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Laeli Nur Fauziyah, Tesis Pemerolehan Bahasa Pada Anak Usia 2 Tahun (Studi Kasus Terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini) Kajian Psikolinguistik
                                                                             












Tidak ada komentar:

Posting Komentar