BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakan
Bahasa pada anak-anak terkadang sukar diterjemahkan, karena
anak pada umumnya masih menggunakan struktur bahasa yang masih kacau dan masih
mengalami tahap transisi dalam berbicara, sehingga sukar untuk dipahami oleh mitratuturnya.
Untuk menjadi mitratutur pada anak dan dapat memahami maksud dari pembicaraan
anak, mitratutur harus menguasai kondisi atau lingkungan sekitarnya, yakni
ketika anak kecil berbicara mereka menggunakan media di sekitar mereka untuk
menjelaskan maksud yang ingin diungkapkan kepada mitratutrnya di dalam
berbicara. Selain menggunakan struktur bahasa yang masih kacau, anak-anak juga
cenderung masih mengalami keterbatasan dalam kosakata (leksikon) dan dalam
pelafalan fonemnya pun kurang tepat. Lingkungan sangat mempengaruhi
perkembangan bahasa anak, sehingga hasil bahasa yang diucapkan oleh anak-anak
berdasarkan dari kemampuanya dalam berinteraksi langsung pada bahasa-bahasa
yang ada di sekitarnya.
’Pemerolehan bahasa’ yang diartikan sebagai proses yang
dilakukan oleh kanak-kanak untuk mencapai kesuksesan penguasaan yang lancar
serta fasih terhadap ’bahasa ibu’ mereka atau yang sering dikenal dengan bahasa
yang terbentuk dari lingkungan sekitar. ’Pemerolehan’ tersebut dapat
dimaksudkan sebagai pengganti ’belajar’ karena belajar cenderung dipakai
psikologi dalam pengertian khusus dari pada yang sering dipakai orang (Tarigan,
Guntur; 1986: 248). Dalam hal ini pemerolehan bahasa pada anak akan membawa
anak pada kelancaran dan kefasihan anak dalam berbicara. Rentang umur anak di
usia balita umumnya mempunyai kemampuan dalam menyerap sesuatu dan ingatan
cenderung lebih cepat dibandingkan usia-usai diatas balita.
Akan tetapi kita masih mempunyai banyak pertanyaan yang
tidak terjawab tentang bagaimana sebenarnya anak-anak memperoleh bahasa.
Bagaimana cara mereka menentukan apa makna kata-kata atau bagaimana cara
menghasilkan ujaran yang bersifat gramatika yang belum pernah mereka dengar
atau yang diproduksi sebelumnya? Apakah anak-anak belajar bahasa karena orang
dewasa mengajarkannya kepada mereka? Atau karena mereka diprogramkan secara
genetik untuk memperoleh bahasa? Apakah mereka belajar gramatika yang kompleks
hanya karena hal itu ada di sana, atau apakah mereka belajar dalam rangka
memenuhi beberapa kebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain?
1.2 Rumusan
Masalah
Dari
pembahasan di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana seorang anak itu memperoleh bahasa?
2.
Bagaimana proses pemerolehan bahasa anak?
3.
Apakah factor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa
pada anak?
1.3 Tujuan Masalah
Tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui bagaimana seorang anak memperolah bahasanya
2.
Untuk mengetahui bagaimana proses pemerolehan bahasa pada anak
3.
Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi pemerolehan
bahasa pada anak
BAB
II
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Pemerolehan Bahasa Pada Anak
Pemerolehan
bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa menurut Maksan (1993:20)
adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara
tidak sadar, implisit, dan informal. Lyons (1981:252) menyatakan suatu bahasa
yang digunakan tanpa kualifikasi untuk proses yang menghasilkan pengetahuan
bahasa pada penutur bahasa disebut pemerolehan bahasa. Artinya, seorang penutur
bahasa yang dipakainya tanpa terlebih dahulu mempelajari bahasa tersebut.
Stork
dan Widdowson (1974:134) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa dan akuisisi
bahasa adalah suatu proses anak-anak mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya.
Sedangkan Huda (1987:1) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses alami
di dalam diri seseorang menguasai bahasa. Pemerolehan bahasa biasanya
didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur asli lingkungan bahasa itu.
Dengan demikian, istilah pemerolehan bahasa mengacu ada penguasaan bahasa
secara tidak disadari dan tidak terpegaruh oleh pengajaran bahasa tentang
sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa pembelajaran bahasa adalah
suatu proses secara sadar yang dilakukan oleh anak (pembelajar) untuk menguasai
bahasa yang dipelajarinya. Penguasaan bahasa tersebut biasanya dilakukan
melalui pengajaran yang formal dan dilakukan secara intensif. Selanjutnya, yang
dimaksudkan dengan pemerolehan bahasa adalah suatu proses penguasaan bahasa
anak yang dilakukan secara alami yang diperoleh dari lingkungannya dan bukan
karena sengaja mempelajarinya dengan verbal. Pemerolehan bahasa biasanya
didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur asli di lingkungan bahasa
itu.
3.2.1 Pandangan Teori Pemerolehan Bahasa
Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah dinyatakan
bahwa pembelajaran bahasa adalah suatu proses secara sadar yang dilakukan oleh
anak (pembelajar) untuk menguasai bahasa yang dipelajarinya. Penguasaan bahasa
tersebut biasanya dilakukan melalui pengajaran yang formal dan dilakukan secara
intensif. Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan pemerolehan bahasa adalah suatu
proses penguasaan bahasa anak yang dilakukan secara alami yang diperoleh dari
lingkungannya dan bukan karena sengaja mempelajarinya dengan verbal.
Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur
asli di lingkungan bahasa itu.
1.
Teori Pemerolehan Bahasa
Behavioristik
Paling tidak ada tiga pandangan yang
berkaitan dengan teori pemerolehan bahasa. Ketiga pandangan itu ialah teori
behavioristik, teori mentalistik, dan teori kognitiftik. Untuk lebih jelasnya
ketiga teori tersebut dapat diuraikan satu per satu berikut ini. Menurut
pandangan kaum behavioristik atau kaum empirik atau kaum antimentalistik, bahwa
anak sejak lahir tidak membawa strutur linguistik. Artinya, anak lahir tidak
ada struktur linguistik yang dibawanya. Anak yang lahir dianggap kosong dari
bahasa.
Mereka berpendapat bahwa anak yang
lahir tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Brown dalam Pateda (1990:43)
menyatakan bahwa anak lahir ke dunia ini seperti kain putih tanpa
catatan-catatan, lingkungannyalah yang akan membentuknya yang perlahan-lahan
dikondisikan oleh lingkungan dan pengukuhan terhadap tingkah lakunya.
Pengetahuan dan keterampilan
berbahasa diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar. Pengalaman dan
proses belajar yang akan membentuk akuisisi bahasanya. Dengan demikian, bahasa
dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui pewarisan kebudayaan, sama
halnya seperti orang yang akan belajar mengendarai sepeda. Menurut Skinner (Suhartono, 2005:73)
tingkah laku bahasa dapat dilakukan dengan cara penguatan. Penguatan itu
terjadi melalui dua proses yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, yang
paling penting di sini adalah adanya kegiatan mengulangulang stimulus dalam
bentuk respon. Oleh karena itu, teori stimulus dan respon ini juga dinamakan
teori behaviorisme.
Dikaitkan dengan akuisisi bahasa,
teori behavioris mendasarkan pada proses akuisisi melalui perubahan tingkah
laku yang teramati. Gagasan behavioristik terutama didasarkan pada teori
belajar yang pusat perhatian tertuju pada peranan lingkungan, baik verbal
maupun nonverbal. Teori belajar behavioris ini menjelaskan bahwa perubahan
tingkah laku dilakukan dengan menggunakan model stimulus (S) dan respon (R)
Dengan demikian, akuisisi bahasa dapat diterangkan berdasarkan konsep SR.
Setiap ujaran dan bagian ujaran yang dihasilkan anak adalah reaksi atau respon
terhadap stimulus yang ada. Apabila berkata, “Bu, saya minta makan”, sebenarnya
sebelum ada ujaran ini anak telah ada stimulus berupa perut terasa kosong dan
lapar. Keinginan makan, antara lain dapat dipenuhi dengan makan nasi atau
bubur. Bagi seorang anak yang beraksi terhadap stimulus yang akan datang, ia
mencoba menghasilkan sebagian ujaran berupa bunyi yang kemudian memperoleh
pengakuan dari orang yang di lingkungan anak itu.
Kaum behavioris memusatkan perhatian
pada pola tingkah laku berbahasa yang berdaya guna untuk menghasilkan respon
yang benar terhadap setiap stimulus. Apabila respon terhadap stimulus telah
disetujui kebenarannya, hal itu menjadi kebiasaan. Misalnya seorang anak
mengucapkan , "ma ma ma",dan tidak ada anggota keluarga yang menolak
kehadiran kata itu, maka tuturan "ma ma ma", akan menjadi kebiasaan.
Kebiasaan itu akan diulangi lagi ketika anak tadi melihat sesosok tubuh manusia
yang akan disebut ibu yang akan dipanggil "ma ma ma". Hal yang sama
akan berlaku untuk setiap kata-kata lain yang didengar anak. Teori akuisisi bahasa berdasarkan konsep behavioris menjelaskan bahwa
anak-anak mengakuisisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini
dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini Pateda (1990:45)
menyatakan bahwa faktor yang penting dalam peniruan adalah frekuensi
berulangnya satu kata dan urutan kata. ujaran-ujaran itu akan mendapat
pengukuhan, sehingga anak akan lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata.
Seandainya kata dan urutan kata itu salah, maka lingkungan tidak akan
memberikan pengukuhan. dengan cara ini, lingkungan akan mendorong anak
menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak memberi pengukuhan terhadap
tuturan yang tidak gramatikal.
2.
Teori Pemerolehan Bahasa Mentalistik
Menurut pandangan kaum mentalis atau
rasionalis atau nativis, proses akuisisi bahasa bukan karena hasil proses
belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau
potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan
intelektualnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Chomsky (1959) bahwa anak yang lahir ke dunia ini telah membawa kapasitas atau
potensi. Potensi bahasa ini akan turut menentukan struktur bahasa yang akan
digunakan. Pandangan ini yang akan kelask disebut hipotesis rasionalis atau
hipotesis ide-ide bawaan yang akan dipertentangkan dengan hipotesis empiris
yang berpendapat bahwa bahasa diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman.
Seperti telah dikatakan di atas
bahwa anak memiliki kapasitas atau potensi bahasa maka potensi bahasa ini akan
berkembang apabila saatnya tiba. Pandangan ini biasanya disebut pandangan
nativis (Brown, 1980:20).
Kaum mentalis
beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang disebut LAD
(Language Acquisition Device). Kelengkapan bahas ini berisi sejumlah hipotesis
bawaan. Hipotesis bawaan menurut para ahli berpendapat bahasa adalah satu pola
tingkah laku spesifik dan bentuk tertentu dari persepsi kecakapan
mengategorikan dan mekanisme hubungan bahasa, secara biologis telah ditemukan
(Comsky, 1959).
Mc Neill (Brown, 1980:22) menyatakan bahwa LAD itu terdiri atas:
a.
Kecakapan
untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
b.
Kecakapan
mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang
kemudian.
c.
Pengetahuan
tenteng sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan kecapan
menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem
linguistik, Dengan demikian, dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin
diluar data linguistik yang ditemukan.
Pandangan kaum
mentalis yang perlu diperhatikan adalah penemuan mereka tentang sistem
bekerjanya bahasa anak. Chomsky dan kawan-kawan berpendapat bahwa perkembangan
bahasa anak bukanlah perubahan rangkaian proses yang berlangsung sedikit semi
sedikit pada struktur bahasa yang tidak benar, dan juga standia lanjut. Akan
tetapi standia yang bersistem yang berbentuk kelengkapan-kelengkapan bawaan
ditambah dengan pengalaman anak ketika ia melaksanakan sosialisasi diri.
Kelengkapan bawaan ini kemudian diperluas, dikembangkan, dan bahkan diubah.
Dalam hubungan
anak membawa sejumlah kapasitas dan potensi, kaum mentalis memberikan
alasan-alasan sebagai berikut:. Semua manusia belajar bahasa tertentu; semua
bahasa manusia sama-sama dapat dipelajari oleh manusia; semua bahasa manusia
bebeda dalam aspek lahirnya, tetapi semua bahasa mempunyai ciri pembeda yang
umum, ciri-ciri pembeda ini yang terdapat pada semua bahasa merupakan kunci
terhadap pengertian potensi bawaan bahasa tersebut. Argumen ini mengarahkan
kita kepada pengambilan kesimpulan bahwa potensi bawaan bukan saja potensi
untuk dapat mempelajari bahasa, tetapi hal itu merupakan potensi genetik yang
akan menentukan struktur bahasa yang akan dipelajarinya.
3.
Teori Akuisisi Bahasa Kognitif
Dalam psikolingustik, teori kognitif
ini yang memandang bahasa lebih mendalam lagi. Para penganut teori ini,
berpendapat bahwa kaidah generatif yang dikemukakan oleh kaum mentalis sangat
abstrak, formal, dan eksplisit serta sangat logis.
Meskipun demikian, mereka
mengemukakan secara spesifik dan terbatas pada bentuk-bentuk bahasa. Mereka
belum membahas hal-hal menyangkut dalam lapisan bahasa, yakni ingatan,
persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling berpengaruh dalam struktur jiwa
manusia. Para ahli bahasa mulai melihat bahwa bahasa adalah manifestasi dari
perkembangan umum yang merupakan aspek kognitif dan aspek afektif yang
menyatakan tentang dunia diri manusia itu sendiri.
Teori kognitif menekankan hasil
kerja mental, hasil kerja yang nonbehavioris. Proses-proses mental dibayangkan
sebagai yang secara kualitatif berbeda dari tingkah laku yang dapat
diobservasi. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas
kognitif anak dalam menemukan struktur di dalam bahasa yang ia dengar di
sekelilingnya. Baik pemahaman maupun produksi serta komprehensi, bahasa pada
anak dipandang sebagai hasil proses kognitif yang secara terus-menerus
berkembang dan berubah. Jadi, stimulus merupakan masukan bagi anak yang
kemudian berproses dalam otak. Pada otak ini terjadi mekanisme internal yang
diatur oleh pengatur kognitif yang kemudian keluar sebagai hasil pengolahan
kognitif tadi.
Teori kognitif telah membawa satu
persoalan dalam pemberian organisasi kognitif bahasa anak. Persoalan itu, yakni
belum ada model yang terperinci yang memeriksa organisasi kognitif bahasa anak
itu. Untunglah Slobin telah menformulasikan sejumla prinsip operasi yang telah
menarik perhatian para ahli, Clark dan Clark (Hamied,1987:22-23) telah menyusun
kembali dan memformulasikan prinsip operasi Slobin tersebut.
Prinsip koherensi semantik ada tiga
aspek yaitu mencari modifikasi sistematik dalam bentuk kata; mencari penanda
gramatis yang dengan jelas menunjukkan perbedaan yang mendasari dan menghindari
kekecualian. Prinsip Struktur lahir meliputi: memperhatikan ujung kata; memperhatikan
urutan kata, awalan, dan akhiran; dan menghindari penyelaan atau pengaturan
kembali satu-satuan linguistik.
Tiga Prinsip
koherensi semantik behubungan dengan peletakan gagasan terhadap bahas,
sedangkan tiga prinsip struktur lahir berkenaan dengan masalah segmentasi yaitu
bagaimana membagi alur ujaran yang terus-menerus menjadi satuan-satuan
linguistik yang terpisah dan bermakna.Penganut teori kognitif beranggapan bahwa
ada prinsip yang mendasari organisasi linguistik yang digunakan oleh anak untuk
menafsirkan serta mengoperasikan lingkungan linguistiknya. Semua ini adalah
hasil pekerjaan mental yang meskipun tidak dapat diamati, jelas mempunyai dasar
fisik. Proses mental secara kualitatif berbeda dari tingkah laku yang dapat
diamati, dan karena berbeda dengan pandangan behavior (Pateda, 1990).
2.2 Tahap Proses Pemerolehan Bahasa Pada Anak
Berbagai
penelitian membuktikan bahwa manusia normal mengalami tahapan yang hampir sama
dalam pemerolehan bahasa pertamanya. Dalam hal ini, peneliti mengambil teori
dari tiga orang ahli yaitu Aitchison, Schaerlaekens, dan Ruqayyah.
1.
Perkembangan Bahasa
Menurut Aitchison
Menurut Aitchison dalam Harras
dan Andika (2009: 50-56), tahap kemampuan bahasa anak terdiri atas hal-hal
berikut.
Tahap Perkembangan Bahasa
|
Usia
|
Menangis
|
Lahir
|
Mendekur
|
6 minggu
|
Meraban
|
6 bulan
|
Pola intonasi
|
8 bulan
|
Tuturan satu kata
|
1 tahun
|
Tuturan dua kata
|
18 bulan
|
Infleksi kata
|
2 tahun
|
Kalimat tanya dan ingkar
|
2 ¼ tahun
|
Konstruksi yang jarang dan kompleks
|
5 tahun
|
Tuturan yang matang
|
10
ahun
|
a)
Menangis
Menangis
pada bayi ternyata memiliki beberapa tipe makna. Ada tangisan untuk minta
minum, minta makan, kesakitan, dan sebagainya. Tangisan merupakan komunikasi
yang bersifat instingtif seperti halnya sistem panggil pada binatang. Hasil
penelitian membuktikan bahwa makna tangisan itu bersifat universal.
b)
Mendekur
Fase yang mirip
dekuran merpati ini dimulai saat anak berusia sekitar enam tahun. Mendekur
sebenarnya sulit dideskripsikan. Bunyi yang dihasilkannya mirip dengan bunyi
vokal, tetapi hasil penelitian menggunakan spektogram menunjukkan bahwa hasil
bunyi itu tidak sama dengan bunyi vokal yang dihasilkan orang dewasa. Beberapa
buku menyebut fase ini sebagai gurgling atau mewling. Mendekur
pun bersifat universal.
c)
Meraban
Secara bertahap,
bunyi konsonan akan muncul pada waktu anak mendekur, dan ketika usia anak mendekati
enam bulan, ia memasuki fase meraban. Secara impresif anak menghasilkan vokal
dan konsonan secara serentak. Awalnya, ia mengucapkan sebagai suku kata, tetapi
akhirnya vokal dan konsonan itu menyatu. Pada fase meraban, anak menikmati
eksperimennya dengan mulut dan lidahnya, sehingga fase ini merupakan fase
pelatihan bagi alat ucap. Bunyi yang biasanya dikeluarkan berupa mama,
papapa, dan dadada.
d)
Pola Intonasi
Anak-anak mulai
menirukan pola-pola intonasi sejak usia delapan atau sembilan bulan. Hasil
tuturan anak mirip dengan tuturan ibunya. Anak tampaknya menirukan tuturan
orang tuanya tetapi hasilnya tidak dipahami oleh orang sekelilingnya. Ibu-ibu
sering mengidentifikasikan bahwa anaknya menggunakan intonasi tanya dengan nada
tinggi pada akhir kalimatnya, sehingga orang tua sering melatih anaknya
berbicara dengan bertanya "Kamu mau apa?" dan sebagainya.
e)
Tuturan satu kata
Sekitar umur dua
belas sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata.
Jumlah kata yang diperoleh anak bervariasi. Lazimnya, rata-rata anak memperoleh
sekitar lima belas kata. Kata-kata yang biasanya dituturkan misalnya papa,
mama, bobo, meong, dan sebagainya.
f)
Tuturan dua kata
Ciri
yang paling menonjol dalam fase ini ialah kenaikan kosakata anak yang muncul secara
drastis. Ketika usianya menginjak dua setengah tahun, kosakatanya mencapai
hampir ratusan kata. Pada awal tahap dua kata ini tuturan anak cenderung disebut
telegrafis. Ia berbicara seperti orang mengirim telegram, yakni hanya kata-kata
penting saja yang disampaikan. Tuturan yang awalnya Ani susu berubah
menjadi Ani mau minum susu.
Infleksi kata. Kata-kata yang awalnya dianggap remeh
oleh anak akhirnya dimunculkan juga. Dalam bahasa Indonesia, kata yang biasanya
muncul ialah afiks, misalnya anak sebelumnya hanya mengatakan Kakak mukul
adik menjadi Kakak memukul adik atau Adik dipukul kakak.
Dalam tahap ini pun anak mulai memperoleh kata majemuk, seperti orang tua,
namun pemerolehan tersebut tidaklah signifikan karena kemampuan setiap anak
bervariasi.
g)
Kalimat tanya dan
ingkar
Dalam bahasa
Indonesia, anak mulai memperoleh kalimat tanya seperti apa, siapa, dan kapan
pada kalimat seperti Apa ini?, Siapa orang itu?, dan Kapan ayah
pulang?, sedangkan kalimat ingkar biasanya berupa kalimat-kalimat seperti Kakak
tidak nakal, Saya tidak mau makan, Kue ini tidak enak, dan Ini bukan
punya adik.
h)
Konstruksi yang jarang atau kompleks
Pada usia lima tahun, anak secara
mengesankan memperoleh bahasa yang terus berlanjut meskipun agak lamban.
Tuturan anak usia lima tahun berbeda dengan tuturan atau tata bahasa orang
dewasa, tetapi mereka tidak menyadari kekurangan mereka itu. Mereka selalu
menganggap bahwa tuturannya sama dengan orang dewasa dan akan selalu
menyamakannya. Dalam tes pemahaman, anak-anak siap untuk mengerjakan dan
menafsirkan struktur yang diberikan kepadanya, tetapi sering mereka
menafsirkannya secara keliru. Hal tersebut tampak dalam kalimat majemuk setara
atau kalimat majemuk bertingkat yang biasanya mereka tuturkan seperti Ali
dan kakaknya pergi ke sekolah meskipun hujan. Tahap inilah yang dianggap
tahap rumit dalam fase perkembangan bahasa anak.
i)
Tuturan matang
Perbedaan tuturan
anak-anak dengan orang dewasa secara perlahan akan berkurang ketika usia anak
semakin bertambah. Ketika usianya mencapai sebelas tahun, anak mampu
menghasilkan kalimat perintah yang sama dengan kalimat perintah orang dewasa,
misalnya Tolong ambilkan buku itu!.
Ketika meningkat
usia pubertas, perkembangan bahasa anak dikatakan sudah lengkap. Tentu saja ia
akan terus mengembangkan perbendaharaan kosakatanya, dan kaidah tata bahasanya
pun akan berubah.
Menurut Yulianti
(2002), semua tahap ini pasti dilalui setiap anak normal, sedangkan anak yang
memiliki gangguan fisik hanya melewati beberapa tahap perkembangan bahasa saja.
Hal itu menunjukkan bahwa kematangan berbahasa dipengaruhi pula oleh kematangan
fisik.
2.3
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi
Pemerolehan Bahasa Pada Anak
1.
Faktor
Intelegensi
Intelengesi adalah daya
atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar. Zanden (1980) mendefinisikannya
sebagai kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Intelengesiini bersifat
abstrak dan tak dapat diamati secara langsung. Pemahaman kita tentan tingkat
intelengensi seseorang hanya dapat disimpulkan melalui perilakunya.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.
2. Faktor Motivasi
Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan
motivasi dapat menjelaskan “Mengapa seorang anak yang normal sukses mempelajari
bahasa ibunya”. Sumber motivasi itu ada 2 yaitu dari dalam dan luar diri anak.
Dalam belajar bahasa seorang anak tidak
terdorong demi bahasa sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang
bersifat, seperti lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang (Goodman,
1986; Tompkins dan Hoskisson. 1995). Inilah yang disebut motivasi intrinsik
yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan
kemunikasi dengan sekitarnya. Kebutuhan komunikasi ini ditunjukkan agar dia
dapat dipahami dan memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya.
Dalam perkembangan selanjutnya si anak
merasakan bahwa komunikasi bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang
dan gembira sehingg dia pin kerap menerima pujian dan respon baik dari mitra
bicaranya. Kondisi ini memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih
baik lagi. Nak karena dorongan belajar anak itu berasal dari luar dirinya maka
motivasinya disebut motivasi ekstrinsik.
REVIU TESIS PENELITIAN KUALITATIF
PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK USIA 2
TAHUN
(Studi Kasus Terhadap Pemerolehan
Bahasa Anak Usia Dini)
KAJIAN PSIKOLINGUISTIK
Tugas
: Penelitian Kualitatif (Pemerolehan Bahasa Pada Anak)
Kelempok
:
1.
Rimasi
2.
Uswatun Khasanah
Judul Tesis
|
PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK USIA 2
TAHUN
(Studi Kasus Terhadap Pemerolehan
Bahasa Anak Usia Dini)
KAJIAN PSIKOLINGUISTIK
|
Nama
|
Laeli Nur Fauziyah
|
NPM
|
2303412033
|
Tahun
|
-
|
1.Pendahuluan
|
Tesisi ini membahas tentang, Bahasa pada anak-anak terkadang sukar
diterjemahkan, karena anak pada umumnya masih menggunakan struktur bahasa
yang masih kacau dan masih mengalami tahap transisi dalam berbicara, sehingga
sukar untuk dipahami oleh mitratuturnya. Untuk menjadi mitratutur pada anak
dan dapat memahami maksud dari pembicaraan anak, mitratutur harus menguasai
kondisi atau lingkungan sekitarnya, yakni ketika anak kecil berbicara mereka
menggunakan media di sekitar mereka untuk menjelaskan maksud yang ingin
diungkapkan kepada mitratutrnya di dalam berbicara. Selain menggunakan
struktur bahasa yang masih kacau, anak-anak juga cenderung masih mengalami
keterbatasan dalam kosakata (leksikon) dan dalam pelafalan fonemnya pun
kurang tepat. Lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak,
sehingga hasil bahasa yang diucapkan oleh anak-anak berdasarkan dari
kemampuanya dalam berinteraksi langsung pada bahasa-bahasa yang ada di
sekitarnya.
Bagaimana cara mereka menentukan apa makna kata-kata
atau bagaimana cara menghasilkan ujaran yang bersifat gramatika yang belum
pernah mereka dengar atau yang diproduksi sebelumnya? Peneliti tidak mampu
untuk sepakat, seperti mengapa anak-anak belajar bahasa: Apakah anak-anak
belajar bahasa karena orang dewasa mengajarkannya kepada mereka? Atau karena
mereka diprogramkan secara genetik untuk memperoleh bahasa? Apakah mereka
belajar gramatika yang kompleks hanya karena hal itu ada di sana, atau apakah
mereka belajar dalam rangka memenuhi beberapa kebutuhan untuk berkomunikasi
dengan orang lain?
|
2. Metode
Penelitian
|
|
a.
Pendekatan
dan Jenis Penelitian
|
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Melalui metode
kualitatif ini akan dideskripsikan mengenai segi fonologi, morfologi, sintaksis,
dan semantik Naila pada usia 2 tahun.
|
b.
Setting
dan Subjek Penelitian
v Setting Penelitian
v Subjek
Penelitian
|
Penelitian ini dilakukan di Jalan Raya desa Blater
01/III No.27 Kalimanah, Purbalingga. Tempat tersebut merupakan rumah tempat
tinggal Naila. Pengumpulan data dilakukan selama dua hari pada bulan April
2013, sedangkan pengolahan dan penganalisisan data serta penulisan laporan
penelitian dilakukan selama 3 minggu pada bulan Juni 2013.
Subjek penelitian ini adalah anak dari kakak perempuan
penulis yang bernama Naila Ayu Rafiidah yang berusia 2 tahun. Dalam
kesehariannya, Nayla diajarkan memakai bahasa Jawa krama alus oleh
keluarganya, tetapi ia lebih banyak menggunakan bahasa Jawa ngoko dalam
interaksinya dengan orang lain. Hal ini dimungkinkan karena adanya
kebiasaan-kebiasaan dari keluarganya sendiri yang berbahasa ngoko dalam
kesehariannya sehingga kemudian diserap oleh Naila.
|
c.
Prosedur
Penelitian
|
(a)
Tahap Pralapangan
Meliputi tahap penyusunan, perencanaa, dan penyiapan segala bentuk
materi sesuatu yang dibutuhkan sebagai bahan dasar tahap berikutnya. Pada
tahap ini meliputi (1) penyusunan penelitain meliputi latar belakang, kajian
pustaka, penentuan instrument, perencanan pengumpulan data, perekaman data,
dan perencanaan prosedur analisis, (2) penentuan di mana dan dari siapa data
diperoleh, (3) menyiapkan sarana dan prasarana (logistic).
(b) Tahap
lapangan
Merupakan tahap pengumpulan informasi atau ekplorasi terfokus. (1)
pengumpulan data, (2) pengorganisasian data, (pentuturan data), (4)
pengkategorian data.
(c) Tahap
Pascalapangan
Dalam penelitian ini berupa penyusunan laporan akhir penelitian dengan
terlebih dahulu secara rutin berkonsultasi dengan dosen pembimbing
penelitian.
|
(d)
Pengumpulan
Data Dan Instrument Penelitian
v Pengumpulan Data
v Instrumen
Peneltian
|
Pemerolehan data tidak melalui
perlakuan (eksperimen). Subjek penelitian sebagai sumber data dibiarkan
bercakap-cakap
secara alamiah. Percakapan alamiah
itu diharapkan memunculkan data yang
bersifat alamiah. Data alamiah menjadi ciri khas penelitian ini.Dalam
penelitian sederhana ini data diperoleh
melalui teknik perekaman dan
pencatatan. Perekaman dilakukan pada saat terjadi komunikasi antar keluarga.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian sederhana ini peneliti sendiri, juga digunakan tape recorder untuk
merekam selama terjadinya proses komunikasi, dan alat pencatat yang digunakan
setelah perekaman berlangsung.
|
(e)
Analisis
Data
|
Data secara
keseluruhan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis daskriptif kualitatif.
Langkah yang dilakukan adalah data yang berupa rekaman ditranskripsikan ke
dalam bentuk tulisan.
|
(f)
Pengecekan
Keabsahan Data
|
|
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemerolehan bahasa anak dapat secara maksimal diperoleh dari
lingkungannya, sehingga pemerolehan yang maksimal dapat mempengaruhi output
bahasa yang dikeluarkan dari anak tersebut. Untuk menjadi mitratutur pada anak
dan dapat memahami maksud dari pembicaraan anak, mitratutur harus menguasai
kondisi atau lingkungan sekitarnya, yakni ketika anak kecil berbicara mereka
menggunakan media di sekitar mereka untuk menjelaskan maksud yang ingin
diungkapkan kepada mitratutrnya di dalam berbicara
’Pemerolehan bahasa’ yang diartikan sebagai proses yang
dilakukan oleh kanak-kanak untuk mencapai kesuksesan penguasaan yang lancar
serta fasih terhadap ’bahasa ibu’ mereka atau yang sering dikenal dengan bahasa
yang terbentuk dari lingkungan sekitar. ’Pemerolehan’ tersebut dapat
dimaksudkan sebagai pengganti ’belajar’ karena belajar cenderung dipakai
psikologi dalam pengertian khusus dari pada yang sering dipakai orang (Tarigan,
Guntur; 1986: 248). Dalam hal ini pemerolehan bahasa pada anak akan membawa
anak pada kelancaran dan kefasihan anak dalam berbicara. Rentang umur anak di
usia balita umumnya mempunyai kemampuan dalam menyerap sesuatu dan ingatan
cenderung lebih cepat dibandingkan usia-usai diatas balita.
Daftar
Pustaka
Chaer, Abdul.2009.Psikolinguistik: Kajian Teoretik.Jakarta:Rineka
Cipta
Djardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik:Pengantar
Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia.
Harras, Kholid A.
dan Andika Dutha Bachari. (2009). Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung:
UPI press.
Mar’at, Samsunuwiyati.
(2005). Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Laeli Nur Fauziyah, Tesis Pemerolehan Bahasa Pada Anak Usia
2 Tahun (Studi Kasus Terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini) Kajian
Psikolinguistik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar